"Berbagi Kata, Berbagi Berita"

Di Kampus Saya, Pers Kampus Tidak Lebih Dari Humas

Oleh: M. Afnani Alifian

Hari kebebasan pers, sementara LPM di kampus saya masih terus terbelenggu

Sudah tiga tahun saya menjadi anggota dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM). Awalnya saya tertarik gabung dengan LPM karena ingin melanjutkan karir dunia pers sejak siswa dulu di lembaga pers siswa (LPS). Pengalaman sebagai pimpinan redaksi saat di LPS membuat ekspektasi saya cukup tinggi pada LPM. 

Saya membayangkan peran LPM itu sebagai pilar demokrasi kampus. Di mana ada badan eksekutif, legislatif, dan sebagai penyeimbang LPM. Wadah menyampaikan keluh kesah mahasiswa mulai dari tuntutan pembayaran SPP, mengkritisi soal kebijakan pembelajaran, hingga turut andil dalam ajang pemilihan umum mahasiswa di tingkat fakultas maupun Universitas. 

Saat pertama masuk di LPM, saya langsung mengikuti kegiatan diklat. Diklat yang saya harapkan benar benar diuji secara kemampuan, dan mental untuk melakukan reportase di lapangan, ternyata kurang sesuai. Saya hanya digiring menulis berita sosial, yang justru wawancara dengan orang di luar kampus. 

Belum puas penyelidikan soal peran LPM, masih dengan harapan yang besar. Saya pun mengenal yang namanya humas kampus. Humas memiliki kepanjangan hubungan masyarakat, secara filosofi nama sudah cukup baik. Jauh api di panggang, ternyata tugas humas lebih pada promosi kampus, dan membatasi kebebasan pers -itu saja yang saya tahu. 

Dengan dalih aliansi jurnalis berita positif, berdampak besar bagi lemahnya LPM di kampus saya. Apalagi kejadian saat awal masa pandemi, di mana mahasiswa banyak yang merasa keberatan dengan tidak adanya pemotongan SPP. Saya dan beberapa teman di LPM berusaha membuat survei sebagai sumber data dari tulisan untuk mengkritisi kebijakan kampus.

Alih alih terbit, lalu bisa diberitakan pada seluruh mahasiswa. Tulisan kami yang masih berbentuk infografis di Instagram harus terpaksa diturunkan akibat ancaman nilai, dan dana tidak cair. 

Harapan saya pun pupus, apalagi saat mendengar kisah dari senior saya di LPM. Kata dia LPM sebenarnya tidak lebih dari humas kampus. LPM tidak memiliki kebebasan untuk mengekspresikan diri dalam bentuk tulisan. Ancaman bagi mereka yang menulis dan tulisannya mengkritisi kampus hanya ada dua pilihan, pertama nilai kedua dana LPM tidak cair. Sementara jika tulisan LPM hanya memuji kampus dengan segala kekurangan yang mestinya disadari bersama, lalu apa bedanya dengan humas. Sekalian saja LPM melebur dengan humas. 

Dia juga menceritakan betapa malu dirinya saat membaca cerita sejarah berdirinya LPM di Indonesia. Usaha yang berdarah-darah, menentang kerasnya arus orde baru, saat ini justru kalah hanya dengan nilai dan pendanaan. 

Di lain sisi, sebagai mahasiswa di kampus yang saya anggap memang masih butuh citra baik. Saya paham, tindakan itu memang benar, patut di apresiasi. Apalagi LPM bukan lembaga independen yang memiliki sumber pendanaan sendiri. LPM masih bergantung pada dana kemahasiswaan, sehingga untuk sirkulasi berjalannya LPM ditentukan oleh dosen dalam hal ini wakil dekan bidang kemahasiswaan. Seperti halnya simbiosis mutualisme, begitu kata wakil dekan saya suatu waktu. Antara LPM dan kampus harus saling menguntungkan. 

LPM dianggap sebagai ladang uji coba untuk belajar menulis, membuat berita positif, atau berpendapat secara positif. Tidak ada kebebasan di LPM, bahkan secara fungsi memang lebih lemah dari humas kampus. Tak ayal jika website LPM yang saya ikuti sepi minat penulis. Mahasiswa di kampus saya lebih memilih humas kampus karena tulisan yang dimuat di sana akan mendapat apresiasi dari dosen. 

Memang inilah kampus merdeka, mahasiswa tidak layak untuk bebas berpendapat atau mengkritisi kampus. Mahasiswa di kampus saya hanya merdeka jika sudah memenangkan lomba, jadi peserta pertukaran pelajar internasional, atau turut serta dalam ajang prestasi nasional. Sementara dalam hal kebebasan berpendapat kampus saya sudah mirip mirip dengan negara antah berantah yang bisa memenjarakan penduduknya hanya karena salah bicara.

Tulisan Lain di

Dulu Bisa Hampir Setiap Hari Main Judol, Sekarang Tobat

Wakil Presiden Indonesia Lebih dari Sekadar Cadangan

Nama-Nama Kontroversial di Balik Sertifikasi Halal, Siapa yang Bertanggung Jawab?

Menyuarakan Isu Ekologi dalam Bingkai Sastra

Apakah Kata Sukses Hanya Milik Mereka yang Beruang?

Mahasiswa “Organisasi Hopper”: Antara ekspetasi dan realita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terbaru

Refleksi Sejarah Resolusi Jihad, Unisma laksanakan Apel Peringatan Hari Santri Nasional 2024

Libatkan Volunteer dari Jurusan Lain, ESA UNISMA Sukses Gelar NEF 2024

Cahaya Padam di Ujung Kemenangan

Dulu Bisa Hampir Setiap Hari Main Judol, Sekarang Tobat

Populer

Refleksi Sejarah Resolusi Jihad, Unisma laksanakan Apel Peringatan Hari Santri Nasional 2024

Libatkan Volunteer dari Jurusan Lain, ESA UNISMA Sukses Gelar NEF 2024

Cahaya Padam di Ujung Kemenangan

Dulu Bisa Hampir Setiap Hari Main Judol, Sekarang Tobat