"Berbagi Kata, Berbagi Berita"

Menyuarakan Isu Ekologi dalam Bingkai Sastra

Oleh: Safira Ramadani Mahfud
Foto: Pixabay

LPM Fenomena – Bumi kita sedang tidak baik-baik saja, trend pemanasan global masih terus berlanjut, terlebih adanya dorongan dari perbuatan manusia yang menyebabkan iklim berubah begitu cepat. Dilansir dari CNN Indonesia, berdasarkan laporan tim ilmuan iklim internasinal, pada tahun 2023 manusia melepaskan 40,6 miliar ton karbon dioksida ke atmosfer. Angka tersebut meningkat 1,1% dibandingkan tahun 2022.

Seperti yang kita semua tau, bencana banjir, longsor, cuaca ektrem, bahkan gempa semakin hari semakin meningkat. Maka manusia yang posisinya sebagai khalifah di bumi, tentu mengemban tanggung jawab yang sangat besar terhadap kestabilan kondisi bumi.

Dalam situasi seperti ini, sastra dapat dijadikan sebagai medium untuk menyampaikan kritik dan refleksi terhadap isu-isu lingkungan. Sebagai cabang ilmu yang begitu dekat dengan kehidupan manusia, sastra bisa dijadikan sebagai alat menyuarakan keprihatinan terhadap krisis ekologi.

Dalam ilmu kesusastraan, sastra yang mengkaji mengenai isu lingkungan atau ekologi disebut dengan ekokritik. Ekokritik (ecocriticism) seringkali disebut dengan kajian ekologi satra, diamana alam dan lingkungan dijadikan sebagai objek yang dikaji, diamati dan dianalisis.

Ekologi dapat diartikan sebagai kajjian ilmiah yang berhubungan dengan alam dan ekosistem yang ada di dalamnya, termasuk manusia. Sedangkan kritik bisa dipahami sebagai ekspresi penilaian terhadap suatu objek, baik penilaian buruk maupun penilaian baik.

Sastra memiliki cara yang unik dalam menyuarakan isu lingkungan. Melalui sastra, isu-isu lingkungan dapat dikomunikasikan dengan lebih reflektif, emosianal, dan ekspresif. Pesan yang disampaikan dengan kemasan sastra dapat tersampaikan dengan lebih berkesan, menyadarkan pembaca akan pentingnya menjaga keseimbangan ekologi, mengingatkan mereka bahwa eksploitasi berlebihan berpotensi membawa bencana.

Lewat cerita, puisi, atau novel, pesan ekologis bisa disampaikan dengan cara yang menyentuh sehingga menjadi pengalaman hidup yang nyata bagi pembaca. Isu lingkungan bukan sekadar data statistic yang ujung-ujungnya tidak diminati untuk dibaca, apalagi direnungi.

Maka dengan ini membuktikan bagaimana sastra tidak hanya menjadikan alam sebagai latar dalam kesenian, melaikan juga sebagai objek yang penting untuk diperhatikan dan dipelihara. Sastra bukan sekedar hiburan atau karya estetika belaka, tetapi juga dapat menjadi jembatan bagi manusia dalam memahami hubungannya dengan alam dan ekosistem lain di sekitarnya.

Safira Ramadani Mahfud

Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Universitas Islam Malang

Tulisan Lain di

Dulu Bisa Hampir Setiap Hari Main Judol, Sekarang Tobat

Wakil Presiden Indonesia Lebih dari Sekadar Cadangan

Nama-Nama Kontroversial di Balik Sertifikasi Halal, Siapa yang Bertanggung Jawab?

Apakah Kata Sukses Hanya Milik Mereka yang Beruang?

Mahasiswa “Organisasi Hopper”: Antara ekspetasi dan realita

Peristiwa G 30 S PKI, Tidak Menjadi Refleksi Bagi Oligarki

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terbaru

Refleksi Sejarah Resolusi Jihad, Unisma laksanakan Apel Peringatan Hari Santri Nasional 2024

Libatkan Volunteer dari Jurusan Lain, ESA UNISMA Sukses Gelar NEF 2024

Cahaya Padam di Ujung Kemenangan

Dulu Bisa Hampir Setiap Hari Main Judol, Sekarang Tobat

Populer

Refleksi Sejarah Resolusi Jihad, Unisma laksanakan Apel Peringatan Hari Santri Nasional 2024

Libatkan Volunteer dari Jurusan Lain, ESA UNISMA Sukses Gelar NEF 2024

Cahaya Padam di Ujung Kemenangan

Dulu Bisa Hampir Setiap Hari Main Judol, Sekarang Tobat