LPM FENOMENA – Pemilihan Raya Mahasiswa (Pemira) menjadi momen “sakral” bagi sebagian mahasiswa, terutama mereka yang melihat politik kampus sebagai ajang latihan untuk dunia politik nasional. Seru? Tentu. Absurd? Sangat. Kampus, yang seharusnya menjadi ruang intelektual, sering kali dipenuhi dengan absurditas.
Salah satu polemik yang mencuat terkait pelanggaran Kode Etik Jurnalistik dalam pemberitaan Pemira. Berita tersebut terkait kebocoran informasi calon wakil presiden mahasiswa dari Fakultas Kedokteran Universitas Islam Malang (Unisma) yang katanya tidak sesuai prosedur administratif. Berita tersebut tampaknya tidak hanya membingungkan, tapi juga mencoreng nama baik individu dan institusi. Jika kita merujuk pada Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik, berita seharusnya bersifat akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Sayangnya, beberapa pemberitaan tidak memenuhi prinsip check and recheck sebagaimana tertuang dalam Pasal 3. Selain memicu stigma bagi mahasiswa yang bersangkutan, pemberitaan ini menimbulkan kebingungan dan memperkeruh situasi di tengah momen pemira. Lebih parah lagi, hak jawab dari pihak terkait tidak terlihat jelas dalam berita tersebut.
Lebih jauh, di balik Pemira ini ada peran buzzer timses yang tak kalah mencengangkan. Dalam pemilihan ketua BEM, timses sering lebih “berapi-api” dibandingkan kandidatnya. Fenomena ini membuat Pemira kampus layaknya panggung politik nasional versi lite, lengkap dengan black campaign dan transaksi jabatan. Mirisnya lagi, praktik nepotisme sering kali menyingkirkan prinsip meritokrasi dalam kepengurusan nantinya. Timses yang berjuang mati-matian di lapangan akan “dibalas” dengan jabatan strategis, bukan karena kemampuan, melainkan semata-mata demi kepentingan politik.
Kita bisa melihat bagaimana kampus menjadi miniatur politik nasional yang sama bobroknya. Polarisasi, transaksi jabatan, dan praktik manipulatif menjadi strategi yang lazim ditemukan. Bahkan mahasiswa baru (maba), yang seharusnya belajar mengenali fungsi demokrasi, malah menjadi sasaran empuk kampanye. Dengan janji-janji manis dan taktik sederhana, maba sering diarahkan untuk memberikan dukungan tanpa benar-benar memahami konsekuensi dari pilihan mereka.
Satu lagi ironi dari politik kampus terkait munculnya buzzer yang berperan layaknya buzzer partai. Tugas mereka menyebarkan narasi, membangun citra positif kandidat mereka, dan menyerang lawan dengan isu-isu negatif. Yang mengejutkan, ini semua dilakukan oleh mahasiswa yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjunjung nilai-nilai akademik dan moral.
Jika dicermati lebih dalam, semua ini berakar pada lemahnya sistem Pemira itu sendiri dan minimnya edukasi politik di kalangan mahasiswa. Transparansi dan integritas dalam proses pemilihan sering diabaikan. Padahal, sebagai calon pemimpin masa depan, mahasiswa semestinya belajar menerapkan demokrasi yang sehat, beretika, dan profesional.
Mulailah dari sekarang, jadilah pemilih yang kritis dan aktif mengawasi jalannya proses pemilihan raya. Karena suara kita bukan hanya tentang siapa yang terpilih, tetapi tentang kualitas kepemimpinan yang kita perjuangkan.
Berikut link beritanya;
1. https://www.lpkpkntb.com/dekan-fakultas-kedokteran-sangat-malu-atas-mahasiswa-yang-maju-kontestasi-pemira-tapi-tidak-sesuai-prosedur/
2. http://www.kalimantanpost.online/2024/12/menuntut-dekan-fakultas-kedokteran.html



