Ditengah arus digital yang sdang kita hadapi ini, sangat sulit rasanya hidup tanpa gawai atau tanpa alat elektronik lainnya. Terutama bagi anak-anak yang lahir pada kurun waktu 1997 sampai 2012 yang biasanya dikenal dengan sebutan Gen Z. Tanpa mereka sadari ketergantungan terhadap layar gawai tidak lagi sekedar kebiasaan, hal itu telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup mereka bak jantung yang tak terpisahkan dari tubuh.
Rutinitas tak akan terpisahkan dari gawai mulai dari bangun tidur membuka gawai, belajar atau bekerja dengan gawai, mencari hiburan dengan gawai, memesan makanan lewat gawai, sampai tidurpun ditemani gawai. Efisiensi dan kemudahan memang, tapi disisi lain kehidupan nyata mulai tergerus tergantikan dengan kehidupan maya.
Gen Z yang tumbuh ditengah era digitalisasi tumbuh bersama sosial media, internet, dan perangkat pintar lainnya sering dianggap oleh masyarakat sebagai generasi yang paling melek teknologi. Dari lingkungan tersebut tak heran jika Gen Z mampu dengan mudah beradaptasi dengan perubahan digitalisasi yang semakin maju. Banyak dari kalangan Gen Z yang pandai membuat konten youtube, tiktok, Instagram atau berbagai platform online lainnya, tak heran jika mereka dapat dengan mudah menghasilkan uang dari berbagai platform tersebut.
Namun, dari banyaknya hal positif yang Gen Z dapatkan di sisi lain terdapat juga dampak buruk yang perlu diperhatikan, mereka menghabiskan sebagian besar waktu didepan layar. Menurut laporan yang dirilis oleh Common Sense Media, rata-rata lebih dari 7 jam per hari Gen Z menghabiskan waktunya di depan layar, belum termasuk waktu mengerjakan tugas sekolah atau pekerjaan yang berhubungan dengan gawai.
Dilansir pada awal tahun 2024 dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyatakan bahwa, di Indonesia, kalangan Gen Z telah berkontribusi paling banyak yaitu, sebesar 34,4%. Gen Z unggul dari kalangan milenial yang berada di persentase 30,62% diikuti Gen X pada persentase 18,98%.
Angka-angka tersebut menjadi bukti bahwa Gen Z sedang mengalami fenomena yang cukup memprihatikan. Banyak dari kalangan Gen Z yang mengalami insomnia atau ganguan tidur, fokus yang menurun, dan mental down akibat terlalu banyak screen time yang berlebihan. Banyak dari kalangan Gen Z yang merasa kesepian dalam hidupnya meskipun selalu terhubungan dengan adanya teknologi.
Dalam media sosial juga sangat sering menjadi tempat adu nasib atau perbandingan kehidupan yang tidak realistis. Seorang psikolog Jean Twenge mengatakan, “Media sosial memberi remaja kesempatan untuk membandingkan diri mereka dengan semua orang sepanjang waktu, dan itu bisa berdampak sangat negatif terhadap kesehatan mental”.
Teknologi yang semakin maju dan berkembang bukan berarti harus dijauhi sepenuhnya. Itu semua merupakan tantangan yang harus kita taklukkan, salah satu tindakan konkret yang perlu dimulai ialah belajar menggunakan teknologi secara benar dan seimbang. Kemudian yang diperlukan Gen Z adalah bekal kemampuan literasi digital yang bersifat nyata bukan hanya sekedar bersifat teknis dan teoritis. Tetapi juga bersifat emosional dan beretika. Gen Z harus dapat belajar mengenali batasan, mengatur waktu yang seimbang, dan juga dapat memahami dampak panjang dari kebiasaan digital yang buruk.