LPM FENOMENA – Auditorium Universitas Brawijaya (UB) menjadi saksi diskusi tajam yang memotret paradoks kondisi bangsa dalam Seminar Nasional “OASE: Gelap Terang Indonesia”, Sabtu (25/10/2025). Acara ini mempertemukan optimisme pacu teknologi menuju Indonesia Emas 2045 dengan realitas “gelap” ancaman regresi demokrasi dan darurat sumber daya manusia (SDM) yang fundamental.Seminar ini merupakan puncak dari Reuni Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI) yang dihadiri ratusan alumni dari berbagai penjuru negeri.
Acara dibuka dengan sambutan dari Ketua FAA PPMI, Agung Sedayu. Ia menegaskan bahwa reuni di Malang ini adalah momentum “kembali ke akar”, mengingat kota tersebut merupakan tempat bersejarah deklarasi berdirinya PPMI pada tahun 1992.
Acara ini ditempatkan di Malang, mengingat Malang adalah tempat berkumpulnya pers mahasiswa Indonesia untuk berkonsolidasi hingga kemudian mencetus PPMI,” uangkap Agung.
Rektor UB Paparkan “PR” Bangsa: Kesenjangan Kualitas SDM
Rektor Universitas Brawijaya, Prof. Widodo, yang juga alumni pers mahasiswa, secara resmi membuka acara sekaligus memberikan “pekerjaan rumah” kepada para narasumber. Dalam sambutannya, ia memaparkan data tajam mengenai akar kesenjangan di Indonesia.
Prof. Widodo menyoroti paradoks pertumbuhan ekonomi nasional yang stabil di atas 5%, namun angka kemiskinan tetap tinggi. “Muncul pertanyaan, siapa yang paling menikmati pertumbuhan ekonomi ini?” tanyanya retoris.
Ia memaparkan fakta bahwa 87% tenaga kerja Indonesia adalah lulusan SMA ke bawah dengan pendapatan rata-rata Rp 3,7 juta per bulan. Sementara itu, hanya 13% penduduk yang berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi—angka yang sangat jauh dibanding negara maju (40-50%).
“Ketika pertumbuhan ekonomi tidak diiringi peningkatan kualitas SDM, maka kesenjangan ekonomi dan sosial akan semakin lebar,” tegas Prof. Widodo. “Ini PR kita semua. Tanpa SDM yang baik, kita tidak bisa bicara tentang Indonesia Emas 2045,” tambahnya.

Sisi Gelap: “Emasnya Saja Tidak Kelihatan”
Diskusi panel yang dipandu Dosen Universitas Islam Malang, Ari Ambarwati, dimulai dengan gambaran “sisi gelap” Indonesia.
Aktivis Sosial, Inayah Wahid, secara gamblang menyuarakan pesimismenya terhadap Visi Indonesia Emas 2045.
“Sulit bilang terang 2045 akan punya Indonesia Emas. Emasnya saja tidak kelihatan,” ujar Inayah, merujuk pada persoalan di segala lini, mulai dari penegakan hukum, korupsi, hingga kerusakan lingkungan.
Meski demikian, Inayah mengajak audiens untuk tidak menyerah. “Tugas kita adalah menjadi nyala-nyala kecil dalam kegelapan. Kalau lelah, istirahat, tapi jangan berhenti,” pesannya.
Nada serupa disampaikan Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti. Ia menguraikan kondisi demokrasi yang sedang “tidak baik-baik saja” dan mengarah pada “regresi demokrasi” atau competitive authoritarianism.
“Institusi demokrasi prosedural seperti DPR memang ada, tapi pertanyaannya, mereka kerja untuk siapa?” kritik Bivitri.
Ia menyoroti “oase” yang tersisa ada pada kelompok masyarakat sipil dan anak muda. Namun, oase itu kini terancam oleh apa yang ia sebut “perburuan aktivis”, terutama pasca “Prahara Agustus 2025”, di mana banyak aktivis dijerat dengan Undang-Undang ITE karena bersuara.
Sisi Terang: Pertaruhan di Jendela Kritis AI
Mewakili sisi “terang” dan pandangan pemerintah, Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Nezar Patria, mengakui Indonesia berada di titik sangat kritikal. Ia menyebut periode 2025-2030 adalah jembatan penentu untuk memaksimalkan bonus demografi.
Tantangan terbesarnya, menurut Nezar, adalah disrupsi teknologi Artificial Intelligence (AI).
“AI akan menjadi penentu gerak Abad 21. Kita harus mempersiapkan generasi ke depan dengan pengetahuan yang cukup soal teknologi ini. Adopsi teknologi harus terukur,” kata Nezar.
Mantan aktivis pers mahasiswa ini menekankan pentingnya “kemandirian teknologi” agar Indonesia tidak sekadar menjadi pengguna dan menelan bias algoritma buatan negara lain. Solusinya, senada dengan Rektor UB, adalah fokus pada pencarian dan pengembangan talenta digital.
“Kita punya modal luar biasa, yaitu kekayaan alam dan talenta manusia. Kita harus mencari orang-orang cerdas, mungkin 1% dari populasi kita, untuk membawa proses inovatif di masa kritis ini,” pungkasnya.
Seminar ini menjadi potret jujur kondisi bangsa, di mana optimisme akan lompatan teknologi berbenturan dengan rapuhnya fondasi demokrasi dan kesenjangan kualitas SDM yang harus segera dibenahi.






