LPM Fenomena – Krisis mata air dan ancaman kerusakan lingkungan menjadi sorotan dalam diskusi publik bertajuk “ Wong Gunung Mudun Embong” yang digelar oleh warga Batu di warung Djitoe, Bumiaji, Kota Batu. Selasa (29/04).
Acara yang dirangkai dengan pemutaran film ini mengangkat isu proyek Geothermal dan dampaknya terhadap sumber daya air serta kehidupan warga sekitar.
Diskusi dipantik oleh Purnawan D.Negara (KIH 12 Malang) dan Wishnu try utomo (Celios). Yang menyoroti kerusakan ekologis akibat proyek panas bumi di Kawasan Batu Utara. Data yang disampaikan menunjukan bahwaa dari 111 mata air yang sebelumnya ada di Kota Batu , kini hanya tersisa 58.
“Proyek geothermal ini bukan hanya soal energi, tapi menyangkut hak dasar warga atas air bersih. Jika ini dibiarkan, maka kita sedang membunnuh perlahan, seperti kasus yang sudah terjadi di Kawasan Ijen Jawa Barat saat diadakannya pembangunann Kawasan Geotermal PLTA di daerah sana,“ tegas Wishnu
Masalah ini diperparah dengan maraknya pembangunan hotel dan penginapan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Batu, terdapat lebih dari 1.100 hotel hingga 2023. Sebagian besar berdiri di wilayah-wilayah resapan air dan hulu mata air.
Keresahan warga terlihat dari berbagai kesaksian seperti salah satunya, seorang warga desa Sumber Brantas menyampaikan, “nama desa kami sumber brantas, tapi kami ini gak punya sumber air. Habis dibor dan disedot.”
Saalah satu peserta diskusi turut menyampaikan keprihatinannya terhadap sulitnya mengajak mahasiswa Kota Batu untuk turut aktif terhadap isu lingkungan di wilayah sendiri.
“Susah sekali menyadarkan mahasiswa di Batu agar peduli terhadaap massalah-masalah yang terjadi di kotanya. Banyak yang memilih diam dan bersantai saja, padahal kondisi lingkungan kita sudah darurat,” ujarnya.

Acara ini juga menyinggung Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), yang menyatakan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata.
Diskusi “Wong Gunung Mudun Embong” menjadi ruang penting untuk konsolidasi warga, aktivis dan mahasiswa dalam menyuarakan krisis lingkungan yang selama ini luput dari perhatian. Gerakan ini diharapkan dapat memperluas solidaritas dan mendorong kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan.