"Berbagi Kata, Berbagi Berita"

Refleksi Sejarah G30S PKI: Tragedi Berdarah yang Mengubah Arah Sejarah Indonesia

Oleh: Muhammad Dzunnurain
Ilustrasi by Detik.com

LPM Fenomena – Pada tanggal 1 Oktober 1965, Indonesia diguncang oleh peristiwa kelam yang dikenal sebagai Gerakan 30 September atau G30S PKI. Gerakan tersebut bertujuan menggulingkan Presiden Soekarno serta mengubah sistem pemerintahan Indonesia menjadi negara yang berhaluan komunis. Dipimpin oleh D.N. Aidit, yang saat itu merupakan ketua Partai Komunis Indonesia (PKI), gerakan ini mencoba mengambil alih kekuasaan dengan mengincar para perwira tinggi TNI Angkatan Darat. Peristiwa ini menandai babak penting dalam sejarah bangsa, tidak hanya sebagai tragedi besar, tetapi juga sebagai titik balik arah politik Indonesia.

Pada dini hari 1 Oktober, Letkol Untung, yang merupakan anggota Pasukan Pengawal Istana atau Cakrabirawa, memimpin pasukan yang dianggap loyal kepada PKI. Mereka menculik enam perwira tinggi TNI AD, di antaranya Letnan Jenderal Anumerta Ahmad Yani, Mayor Jenderal Soeprapto, Mayor Jenderal M.T. Haryono, Mayor Jenderal Siswondo Parman, Brigadir Jenderal Donald Isaac Panjaitan, dan Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo. Tiga di antara perwira tersebut dibunuh langsung di rumah mereka, sementara yang lainnya diculik dan dibawa ke Lubang Buaya. Di lokasi inilah, mereka dihabisi secara tragis. Jenazah mereka baru ditemukan beberapa hari kemudian dalam keadaan mengenaskan.

Peristiwa ini juga menargetkan Panglima TNI saat itu, Jenderal AH Nasution. Namun, Nasution berhasil melarikan diri, meski putrinya yang masih kecil, Ade Irma Nasution, tewas terkena tembakan dalam upaya pembunuhan tersebut. Tidak hanya itu, ajudan Nasution, Lettu Pierre Andreas Tendean, juga diculik dan kemudian dibunuh di Lubang Buaya. Peristiwa yang merenggut nyawa tujuh orang ini kemudian dikenang sebagai salah satu tragedi terbesar dalam sejarah militer Indonesia.

Gerakan G30S PKI yang dipimpin oleh D.N. Aidit ini pada akhirnya gagal mencapai tujuannya. Dalam waktu singkat, respons militer di bawah pimpinan Mayor Jenderal Soeharto berhasil menumpas pemberontakan tersebut. Operasi penumpasan terhadap anggota PKI dan simpatisannya terjadi secara besar-besaran. Selain itu, peristiwa ini juga menjadi awal dari runtuhnya kekuasaan Soekarno dan berakhirnya pengaruh PKI di Indonesia. Dalam waktu singkat, PKI yang sebelumnya menjadi salah satu kekuatan politik terbesar di Indonesia dibubarkan dan dilarang, Soeharto lalu muncul sebagai pemimpin baru yang kelak menggantikan Soekarno sebagai presiden.

Tragedi ini tidak hanya membawa perubahan politik secara drastis, tetapi juga meninggalkan trauma mendalam bagi bangsa Indonesia. Enam perwira tinggi yang gugur dalam peristiwa tersebut, bersama dengan Pierre Tendean, secara resmi diberi gelar Pahlawan Revolusi. Gelar ini pertama kali diberikan melalui keputusan negara, dan kemudian diakui secara sah sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009.

Jangan lupakan sejarah, terus belajar dari masa lalu

Penting bagi kita untuk merefleksikan kembali peristiwa G30S PKI. Tragedi ini menunjukkan betapa rapuhnya sebuah negara ketika ideologi ekstrem berhasil merasuki berbagai lapisan masyarakat bahkan militer. Kejadian ini juga menjadi peringatan akan pentingnya persatuan nasional dan kewaspadaan terhadap ancaman yang bisa merusak integritas bangsa. Saat kita memperingati peristiwa ini, penting untuk mengingat nilai-nilai nasionalisme yang harus dijaga oleh generasi mendatang, kesetiaan pada Pancasila, dan komitmen terhadap demokrasi.

G30S PKI juga mengajarkan kita tentang bahayanya ekstremisme dan radikalisme dalam politik. Di tengah gejolak zaman, ideologi komunis yang pada saat itu dianggap dapat menyelamatkan rakyat kecil justru membawa kehancuran bagi banyak orang. Para pahlawan yang gugur dalam peristiwa ini bukan hanya menjadi korban kekejaman, tetapi juga saksi bisu dari pertarungan ideologi yang membahayakan stabilitas negara.

Oleh karena itu, refleksi ini juga harus melibatkan generasi muda Indonesia. Sejarah seringkali dilihat sebagai sesuatu yang jauh dan tidak relevan, namun peristiwa seperti ini seharusnya menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya menjaga keutuhan bangsa dan kewaspadaan terhadap bahaya ideologi yang mengancam kedaulatan negara. Generasi muda harus diajarkan untuk mencintai negaranya dengan memahami sejarahnya, serta berkomitmen untuk menjaga nilai-nilai luhur bangsa.

Muhammad Dzunnurain

Muhammad Dzunnurain, Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP Unisma

Tulisan Lain di

Dulu Bisa Hampir Setiap Hari Main Judol, Sekarang Tobat

Wakil Presiden Indonesia Lebih dari Sekadar Cadangan

Nama-Nama Kontroversial di Balik Sertifikasi Halal, Siapa yang Bertanggung Jawab?

Menyuarakan Isu Ekologi dalam Bingkai Sastra

Apakah Kata Sukses Hanya Milik Mereka yang Beruang?

Mahasiswa “Organisasi Hopper”: Antara ekspetasi dan realita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terbaru

Refleksi Sejarah Resolusi Jihad, Unisma laksanakan Apel Peringatan Hari Santri Nasional 2024

Libatkan Volunteer dari Jurusan Lain, ESA UNISMA Sukses Gelar NEF 2024

Cahaya Padam di Ujung Kemenangan

Dulu Bisa Hampir Setiap Hari Main Judol, Sekarang Tobat

Populer

Refleksi Sejarah Resolusi Jihad, Unisma laksanakan Apel Peringatan Hari Santri Nasional 2024

Libatkan Volunteer dari Jurusan Lain, ESA UNISMA Sukses Gelar NEF 2024

Cahaya Padam di Ujung Kemenangan

Dulu Bisa Hampir Setiap Hari Main Judol, Sekarang Tobat