"Berbagi Kata, Berbagi Berita"

Menelisik Akar Konflik HMI dan PMII dalam Politik Kampus

Oleh: Muhammad Dzunnurain
Ilustrasi BY Safira

Konflik antara Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) kerap kali menarik perhatian serta sering terjadi di kalangan mahasiswa dan masyarakat luas. Kedua organisasi ini memiliki sejarah panjang dalam dunia organisasi mahasiswa di Indonesia dengan basis ideologi Islam yang kuat. Namun, perselisihan di antara keduanya acap kali mencuat akibat perbedaan ideologi, pendekatan sosial, dan dinamika politik eksternal.

Sejak didirikan pada tahun 1947, HMI selalu identik dengan pendekatan konservatif, berlandaskan pada islam dan nasionalisme. Organisasi ini bertujuan membina insan akademis yang berjiwa pencipta, pengabdi, serta bertanggung jawab dalam mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridai Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sementara itu, PMII yang lahir pada tahun 1960 hadir untuk menjawab tantangan zaman. Berdirinya PMII diawali dengan adanya hasrat kuat para mahasiswa Nahdlatul Ulama (NU) yang berideologi Ahlussunnah wal Jamaah. Meskipun PMII telah memproklamasikan independensinya melalui Deklarasi Munarjati, hubungannya dengan NU tetap tidak dapat dipisahkan.

Ketegangan antara kedua organisasi ini sering dipicu oleh perbedaan ideologis, terutama dalam menafsirkan peran agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. HMI cenderung menekankan pentingnya mempertahankan nilai-nilai tradisional serta menjaga status quo, sedangkan PMII lebih terbuka terhadap perubahan dan dinamika sosial. Selain perbedaan ideologi, rivalitas ini juga diperparah oleh faktor eksternal seperti perebutan pengaruh dalam politik kampus, dukungan dari aktor politik luar, serta kompetisi merebut kepemimpinan di berbagai organisasi mahasiswa.

Dampak dari konflik ini sangat terasa di berbagai kampus, di mana mahasiswa sering terpecah menjadi dua kubu besar. Polarisasi ini tidak hanya merugikan kehidupan sosial mahasiswa, tetapi juga menciptakan dinamika politik kampus yang cenderung konfrontatif. Pemilihan ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), misalnya, sering menjadi ajang persaingan sengit antara HMI dan PMII. Lebih dari itu, publik mulai kehilangan kepercayaan terhadap kedua organisasi ini karena melihat mereka lebih sibuk dengan pertarungan internal daripada bekerja sama untuk kemajuan organisasi mahasiswa secara keseluruhan.

Meskipun konflik antara HMI dan PMII tampak sulit dihindari, sejarah menunjukkan bahwa dialog dan mediasi dapat menjadi jalan keluar yang efektif. Upaya rekonsiliasi melalui dialog terbuka antara kedua pihak telah beberapa kali diadakan dengan melibatkan tokoh senior dari masing-masing organisasi. Selain itu, penting bagi kedua organisasi untuk mengambil pelajaran dari sejarah, terutama bahwa perpecahan hanya akan merugikan kedua belah pihak.

Oleh karena itu, langkah-langkah kolaboratif dalam menangani isu-isu sosial dapat menjadi jembatan untuk menyatukan kembali mahasiswa, dengan fokus pada kepentingan yang lebih besar dalam membangun Indonesia yang lebih baik.

Tulisan Lain di

Dulu Bisa Hampir Setiap Hari Main Judol, Sekarang Tobat

Wakil Presiden Indonesia Lebih dari Sekadar Cadangan

Nama-Nama Kontroversial di Balik Sertifikasi Halal, Siapa yang Bertanggung Jawab?

Menyuarakan Isu Ekologi dalam Bingkai Sastra

Apakah Kata Sukses Hanya Milik Mereka yang Beruang?

Mahasiswa “Organisasi Hopper”: Antara ekspetasi dan realita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terbaru

Refleksi Sejarah Resolusi Jihad, Unisma laksanakan Apel Peringatan Hari Santri Nasional 2024

Libatkan Volunteer dari Jurusan Lain, ESA UNISMA Sukses Gelar NEF 2024

Cahaya Padam di Ujung Kemenangan

Dulu Bisa Hampir Setiap Hari Main Judol, Sekarang Tobat

Populer

Refleksi Sejarah Resolusi Jihad, Unisma laksanakan Apel Peringatan Hari Santri Nasional 2024

Libatkan Volunteer dari Jurusan Lain, ESA UNISMA Sukses Gelar NEF 2024

Cahaya Padam di Ujung Kemenangan

Dulu Bisa Hampir Setiap Hari Main Judol, Sekarang Tobat