LPMFENOMENA- Film “Merah Putih, One for All” yang akan tayang pada 14 Agustus 2025 sedang menarik perhatian publik. Sayangnya, bukan karena kualitas kontennya, melainkan karena kontroversi yang mengiringi kemunculannya. Bermacam kritik diungkapkan oleh berbagai elemen masyarakat di media sosial, melalui cuplikan konten, komentar, dan ulasan singkat. Ada yang mengkritik dari segi kualitas dan resolusinya, karakter animasi yang tidak konsisten, color grading yang pucat, suara yang tidak sesuai, dan sebagainya. Namun, kali ini saya akan membahas terkait penggunaan bahasa yang muncul di trailer. Sebagai karya yang mengangkat tema nasionalisme menjelang HUT RI ke-80, film ini justru terjerembab dalam masalah mendasar: penggunaan bahasa yang tidak konsisten.
Ironi terbesar dari film ini terletak pada judulnya sendiri. “Merah Putih, One for All” mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris tanpa alasan yang jelas. Jika ingin mengusung semangat nasionalisme, mengapa tidak konsisten menggunakan bahasa Indonesia? Bukankah bahasa adalah salah satu pilar identitas bangsa?

Masalah serupa terulang di berbagai bagian trailer. Kalimat “tapi hilang bendera nya” menunjukkan penyusunan kata yang memperlihatkan ketidakpahaman terhadap kaidah penulisan bahasa Indonesia. Kata “nya” yang menunjukkan kepemilikan seharusnya disambung menjadi “benderanya”. Lebih baik lagi jika kalimat dipercantik menjadi “Tapi benderanya hilang”, yang terdengar lebih natural.
Penggunaan singkatan “yg” untuk kata “yang” dalam kalimat “Tindakan apa yg akan diambil” terasa sangat kasual. Ini bukan pesan WhatsApp atau SMS, melainkan film yang akan ditonton jutaan orang, di bioskop pula. Standar penulisan dalam media audio-visual seharusnya lebih formal dan baku. Begitu pula dengan frasa “Menyambut 80 TH Kemerdekaan RI” yang terdengar kaku dan tidak lazim. Alternatif seperti “Menyambut HUT RI ke-80” atau “Menyambut Hari Kemerdekaan ke-80” jauh lebih mudah dipahami dan akrab di telinga masyarakat, terlebih film ini ditujukan untuk anak-anak.
Kritik terhadap penggunaan bahasa bukanlah hal sepele. Film yang hadir dengan membawa tajuk nasionalisme seharusnya menjadi teladan dalam melestarikan bahasa persatuan. Bagaimana mungkin kita mengajarkan cinta tanah air jika dalam penyampaiannya saja tidak menghormati bahasa sendiri?
Kesalahan-kesalahan ini merupakan potret kurangnya perhatian terhadap detail dalam proses produksi. Padahal, film dengan anggaran miliaran rupiah seharusnya mampu menghadirkan tim kreatif yang berfokus pada aspek kebahasaan dengan serius.
Industri film Indonesia perlu lebih peduli terhadap kualitas bahasa dalam karyanya. Caranya banyak, antara lain melibatkan editor bahasa atau konsultan linguistik. Soal biaya bukanlah tambahan yang sia-sia, melainkan investasi untuk kredibilitas karya.
Film bertema nasionalisme tentunya memiliki tanggung jawab lebih besar dalam menyampaikan pesan, dan bahasa adalah salah satu elemen penting dalam penyampaian pesan tersebut. Konsistensi penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah bagian dari komitmen nasionalisme itu sendiri.
Harapannya, industri film Indonesia dapat belajar dari kontroversi ini. Nasionalisme sejati tidak hanya terletak pada tema yang diangkat, tetapi juga pada cara kita menghormati dan melestarikan bahasa sebagai jati diri bangsa. Semoga ke depannya, film-film bertema kebangsaan dapat hadir menjadi contoh yang baik dalam penggunaan bahasa Indonesia, bukan malah menjadi bahan perdebatan di media sosial.



