Jika media adalah pilar keempat demokrasi, lantas bagaimana kita harus menyikapi ketika pilar itu roboh?
LPM FENOMENA – Beberapa hari terakhir, dunia media sosial dikejutkan oleh gelombang kekecewaan masif yang ditujukan pada salah satu stasiun televisi nasional, Trans7. Khususnya, program “XPose Uncensored” telah melampaui batas wajar kritik. Ini bukan lagi soal perbedaan pendapat, melainkan sebuah tindakan yang dinilai telah menciderai marwah pesantren, menyebarkan hoax, dan melakukan pencemaran nama baik ulama.
Ironisnya, tayangan semacam ini justru lolos sensor dan mengudara. Bagaimana mungkin sebuah acara yang begitu minim riset dan sensitivitas bisa dianggap layak tayang? Rasanya Trans7, yang seharusnya menjadi pilar informasi, justru lebih memilih menjadi televisi nasional yang mengejar rating dan viralitas murahan, ketimbang menjunjung tinggi etika dan fakta.
Luka Abadi dari Diksi Keji
Puncak kekecewaan tertuju pada narasi yang digunakan untuk mendiskreditkan sosok Kiai Anwar Mansur, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, sebuah lembaga yang sudah berdiri lebih dari seabad. Beliau bukan sekadar kiai biasa, tetapi juga Rais Syuriah PWNU Jawa Timur dan Mustasyar PBNU, figur alim yang jauh dari hiruk-pikuk duniawi.
Lantas, bagaimana Trans7 menggambarkannya? Saya sebagai jurnalis yang lahir dari rahim santri, merasa diksi yang digunakan sangatlah keji. Tayangannya mungkin hanya berdurasi detik, tetapi luka moral yang ditimbulkannya bersifat abadi.
Pesantren Bukan Sekadar Dekorasi Visual
Tim produksi “XPose Uncensored” tampaknya hanya menjadikan kultur santri sebagai bahan riding the wave atau menunggangi tren. Mereka membahas pesantren tanpa riset dan sensitivitas yang memadai, hanya demi panggung dan rating.
Padahal, kultur santri bukanlah dekorasi visual yang bisa dijadikan bahan hiburan. Ia adalah warisan nilai, pengetahuan, dan adab yang membentuk peradaban bangsa. Merendahkannya, apalagi menjadikannya komoditas tontonan, adalah tindakan yang sangat merendahkan martabat kultur itu sendiri.
Dunia luar sering memandang pesantren melalui kacamata sempit, melihat kedisiplinan sebagai penindasan. Padahal santri hormat kepada kiai bukan berarti memuja beliau sebagai penguasa (anti-feodalisme), tetapi menghormatinya sebagai perantara ilmu dan pembentuk karakter.
Jika media sekelas Trans7 lupa menjaga adabnya, biarlah mereka yang menilai siapa sebenarnya yang kehilangan arah. Mereka menyerukan #BoikotTrans7 sebagai pelajaran tegas: kehormatan ulama dan marwah pesantren bukan bahan tontonan. Hukum setimpal harus ditegakkan untuk mencegah terulangnya tayangan sampah digital. (*)



