"Berbagi Kata, Berbagi Berita"

Wigati; Santri Pewaris Keris yang Magis

Oleh: Izza Rahmatika Mukti

Judul               : Wigati; Lintang Manik Woro

Penulis             : Khilma Anis

Cetakan           : ke-X, September 2019

ISBN               : 978-602-60400-9-1

Penerbit           : Telaga Aksara

Aku limbung karena bertempur tanpa senjata di telapakku. Aku hanyalah perempuan biasa yang tidak pernah menjalankan laku tapa brata. Aku juga tak tahu cara bersemedi, mana mungkin Tuhan menganugerahiku senjata sebagaimana para kesatria? Perang di dadaku terus bergejolak tanpa bisa kuredam gemuruhnya. Oh Empu Gandring, telah kau buatkan Ken Arok sebilah keris untuk membunuh Tunggul Ametung. Bisakah kau buatkan aku sebilah pusaka yang bisa membunuh kenangan?

            Wigati gamang. Benda berbungkus kain mori lusuh berwarna putih sepanjang satu kilan itu kini ada ditangannya. Kedatangan Keris Nyai Cundrik Arum membuatnya jadi tak tenang. Ternyata hari yang disebutkan di buku harian ibu Wigati benar terjadi. Suatu hari, seorang pria mengantarkan keris itu ke Pondok Pesantren Darul Islam (Daris), tempat Wigati nyantri. Alih-alih bertatap muka langsung dengan tamu pengantar keris itu, Wigati justru memilih Manik untuk menemui tamu yang tak dikenalinya.

            Keris Nyai Cundrik Arum dibuat dalam bentuk patrem. Patrem adalah keris kecil yang pada zamannya diperuntukkan untuk putri istana sebagai senjata. Tapi, kehadiran Keris Nyai Cundrik Arum itu bukanlah soal apakah Wigati masih keturunan priyayi. Namun, ini soal kemantapan hati Wigati bertemu dengan ayah kandungnya sendiri. Menyatukan dua keris Nyai Cundrik Arum dan Kiai Rajamala buatan kakeknya sendiri.

            Novel Wigati bercerita tentang kisah seorang santri di pesantren salaf yang menjadi keturunan seorang empu. Mendiang kakeknya, Kakek Suronnggono adalah seorang empu sakti dan masih keturunan dengan Empu Luyung; pembuat keris pusaka kerajaan Mataram. Wigati diwarisi Keris Nyai Cundrik Arum. Kehadiran keris inilah yang kemudian mengantarkan Wigati pada perjalanan gejolak batin seorang anak yang diminta untuk bertemu ayah kandungnya sendiri (red, Kiai Ali). Seorang lelaki yang pernah melangsungkan pernikahan siri dengan Ibu Kinanti (red, Ibu Wigati), lalu pergi dan menikahi wanita lain.

            Khilma Anis, penulis novel yang telah memasuki cetakan ke-X ini memanglah lihai membuat teka-teki. Sebagai perempuan yang lahir dan besar di pesantren, serta kecintaannya pada wayang dan budaya jawa tak membuatnya jemu meramu kisah masa lalu agar tetap renyah disantap pembaca hari ini. Kesungguhan Khilma dalam membangun kisah Wigati tak bisa dibilang cuma-cuma. Melalui unsur instrinsik tokoh dan penokohan, latar, alur, dan tema yang dibangun, Khilma sengaja menyambungkan garis-garis keterikatan seiring mengalirnya kisah dalam Wigati.

Dunia batin perempuan

Pernikahan siri Ibu Kinanti dan Kiai Ali menjadi jembatan Khilma dalam menelusuri batin perempuan. Sebenarnya Eyang Putri telah mewanti-wanti agar putrinya (Ibu Kinanti) menunda kehamilan. Pernikahan yang belum diakui negara itu rentan merugikan pihak perempuan. Namun, apa mau dikata, Ibu Kinanti terlena dengan Kiai Ali dan melahirkan Wigati. Melalui buku harian milik ibunya, Wigati mendapat pesan untuk tidak mencari keberadaan ayah kandungnya. “Tidak perlu mencari di mana ayahmu”. Namun di sisi lain, eyang putrinya meminta Wigati untuk mencari keberadaan ayah kandungnya. Tentu dua amanat yang saling bertolak belakang ini membuat hati Wigati bergejolak. Cerita ibunya di masa lalu membuat Wigati kecewa, marah, dan benci. Wigati makin pendiam dan nyaman sendiri, meski batinnya bising diombang-ambing ketidakberdayaannya sendiri.         

Berpindah. Sebelum menutup kisah, Khilma kemudian menghadirkan Bu Nyai. Perempuan pilihan keluarga pesantren yang dinikahi oleh Kiai Ali. Pertemuan Wigati dan Kiai Ali membuat Bu Nyai hanya mampu membuat Bu Nyai melebarkan hati selapang-lapangnya. Tak ada berontak maupun pernyataan kecewa. Kerudung berbahan kaos yang basah dan menjulur di dadanya, seolah menutupi keterpurukan hatinya. “Luka datang bertubi-tubi padanya seperti hujam anak panah. Ia harus menerima kenyataan bahwa suaminya mendadak sakit keras. Ia harus menerima kenyataan bahwa suaminya pernah menikah siri. Ia harus menerima kebohongan suaminya yang belasan tahun terpendam. Ia harus bersikap baik kepada Wigati yang berwajah dingin dan sama sekali tidak bersahabat”.

            Ternyata, Khilma tidak berhenti pada kepedihan hati Ibu Kinanti, Wigati, dan Bu Nyai. Manik, sahabat Wigati adalah orang yang paling memahami dan menemaninya dalam perjalanan perang batin. Keterlibatan Manik menjadi pendengar kisah perih Wigati dan usaha mempertemukannya dengan Kiai Ali harus berakhir dengan merutuki dirinya sendiri. Awalnya Manik mengira bahwa pertemuan Keris Nyai Cundrik Arum dan Rajamala menjadi jembatan penyatuan hati Kang Jati dan dirinya sendiri. Namun, Khilma dengan apik kembali memberi kejutan. Kang Jati (red, sopir kiai Ali) yang dianggap anak sendiri oleh Kiai Ali secara tersirat dijodohkan dengan Wigati. “Aku sudah salah meyakini kalau Nyai Cundrik Arum akan membentuk sejarahku sendiri, siapa aku memangnya? Kenapa aku begitu percaya diri? Nyatanya keris itu tetap membentuk sejarah Wigati, sang pemilik. Pertemuannya dengan Kang Jati yang akan segera jadi suaminya”.

            Kecintaan pada wayang dan Jawa

Keris yang diwariskan kepada Wigati ternyata pernah menjadi ageman seorang putri sakti. Di jaman Jawa Khanda, Keris Nyai Cundrik Arum pernah menjadi pusaka pegangan Permaisuri Bathari Nawangsih dari Kerajaan Medang Kamulan. Tak hanya itu, melalui pusaka hadiah dari Prabu Erlangga ini pula, Puspa Dewi pernah menggagalkan pemberontakan. Sejarah ini yang kemudian menjadi latar belakang mengapa Wigati yang diwarisi keris Nyai Cundrik Arum. Kakek Suronggono seolah menitipkan azimat demi keselamatan sang cucu.

Sedang Keris Rajamala dibuat atas permintaan Kiai Ali yang kala itu ibunya sedang sakit keras dan ingin diantar pulang ke Banyuwangi. Keris Rajamala ini kemudian akan digunakan sebagai teman perjalanan ke Banyuwangi. Dahulu, leluhur Kiai Ali, Sunan Pakubuwana V pernah mengantarkan istrinya dari Solo ke Madura dengan perahu berkepala berbentuk Rajamala. Ternyata sesampainya di Madura, sang permaisuri yang awalnya sakit bisa sembuh total. Hal ini lah yang kemudian menjadi pegangan Kiai Ali untuk mengikuti napak tilas leluhurnya.

Melalui Keris Nyai Cundrik Arum dan Rajamala, penulis menerangkan ketangguhan tokoh di jaman dahulu yang kini asing didengar. Melalui tokoh Manik, penulis dengan tidak kebetulan membangunnya sebagai tokoh yang sedari kecil terbiasa mendengar cerita raja-raja jawa dan wayang. “Ken Arok yang merebut Ken Dedes dari Tunggul Ametung. Trus Ken Dedes yang akhirnya jadi ibu raja-raja jawa lalu dapat julukan Nareswati seperti nama ibuk. Betul kan Nek?”. Sedang Kang Jati dibesarkan oleh seorang ayah yang dahulu menjadi murid Kakek Suronggono, sosok empu sakti.  

Penulis kemudian membubuhkan kisah Dyah Pitaloka dalam perjalanan Manik dan Kang Jati ke Salatiga guna menjemput Wigati. Dyah Pitaloka adalah seorang putri dari Kerajaan Pasundan yang berhasil membuat Hayam Wuruk (Raja Majapahit) jatuh hati pada kecantikannya. Melalui Gajah Mada, Dyah Pitaloka dilamar Pabu Hayam Wuruk. Singkat cerita, di hari H pernikahan, rombongan dari Kerajaan Pasundan diminta untuk datang ke Kerajaan Majapahit. Alih-alih mendapati perayaan pernikahan putrinya, rombongan justru melihat raja-raja dari kerajaan lain menyerahkan upeti kepada Kerajaan Majapahit. Pengkhianatan inilah yang kemudian mendasari peperangan tidak seimbang di padang Bubat.

Dyah Pitaloka yang turut dalam rombongan tak kuat hati melihat jenazah ayah, ibu, dan seluruh pasukan. Ia kemudian bunuh diri. “Ya. Dyah Pitaloka dengan hati berduka melakukan bela pati. Bela pati adalah bunuh diri untuk membela penghormatan bangsa dan negaranya. Menurut adat kasta kesatria, perbuatan bunuh diri ini dilakukan para perempuan kasta jika kaum laki-laki telah gugur di medan perang. Perbuatan ini diharapkan dapat membela harga diri sekaligus melindungi kesucian mereka. Mereka takut dipermalukan, diperkosa, dianiaya, atau bahkan diperbudak.” Sekali lagi, kematangan dan kesiapan pengetahuan soal tokoh wayang, kisah kerajaan jawa, dan soal keris itu sendiri membuat Novel Wigati menjadi bacaan yang tepat untuk diseriusi. Pembaca seolah akan diajak untuk mengunjungi museum dan mendapat penjelasan di setiap peristiwa. Namun, novel dengan tebal 276 halaman itu beberapa kata menggunakan Bahasa Jawa. Penulis tidak langsung mencantumkan makna atau terjemahan kosa kata di catatan kaki, namun menjelaskannya di bagian glosarium.

Tulisan Lain di &

Cahaya Padam di Ujung Kemenangan

PUTIBAR: Jejak Sejarah dan puisi lainnya…

Menguak Benang Misteri: 5 Miliar Won Dalam Film Connection

Peringatan Darurat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terbaru

Refleksi Sejarah Resolusi Jihad, Unisma laksanakan Apel Peringatan Hari Santri Nasional 2024

Libatkan Volunteer dari Jurusan Lain, ESA UNISMA Sukses Gelar NEF 2024

Cahaya Padam di Ujung Kemenangan

Dulu Bisa Hampir Setiap Hari Main Judol, Sekarang Tobat

Populer

Refleksi Sejarah Resolusi Jihad, Unisma laksanakan Apel Peringatan Hari Santri Nasional 2024

Libatkan Volunteer dari Jurusan Lain, ESA UNISMA Sukses Gelar NEF 2024

Cahaya Padam di Ujung Kemenangan

Dulu Bisa Hampir Setiap Hari Main Judol, Sekarang Tobat