"Berbagi Kata, Berbagi Berita"

Rest In Poor Badan Eksekutif Mahasiswa dan Dewan Perwakilan Mahasiswa UNISMA

Oleh: Muhammad Rizqi Fadilah
Ilstrasi by Hipwee

Curahan Hati

Apa yang selalu dibilang orang terhadap mereka yang lantang? Haus validasi, karena kebetulan ia sendiri. Apa yang selalu dibilang orang terhadap mereka yang mempertanyakan? Kebanyakan omong, karena kebetulan bertanya itu memang harus menulis atau berbicara. Apa yang selalu dibilang orang terhadap mereka yang selalu berkomentar? Banyak komentar, kenapa tidak masuk saja? Karena kebetulan memang ia tiada berjasa.

Saya tidak begitu religius, namun bagi saya, menjaga idealisme sulitnya bak menjaga salat lima waktu dengan tepat di awal waktu dan dengan keadaan khusyuk. Ya, dengan tepat di awal waktu dan dengan keadaan khusyuk. Karena dari sekian banyak insan yang saya temui, yang mereka beragama Islam, kebanyakan dari mereka mengakui bahwa yang paling susah dari salat adalah menjaga konsistensi waktu dan khusyuk di dalam pelaksanaannya. Tidak ada yang terlihat berat dari keadaan itu, tetapi hampir setiap orang merasakan beban tantangan yang sama.

Idealisme yang saya jaga bukan dalam artian selalu mengambil posisi yang berlawanan dengan status quo. Karena kenyataannya status quo tidak melulu buruk. Tentunya status quo juga sedinamis kehidupan kita yang ada-ada saja ini. Namun, yang saya jaga adalah sikap tidak melakukan pembiaran terhadap apa pun yang bisa turut saya benarkan. Hal ini saya dapatkan dari bapak-ibu saya yang pernah menyarankan saya untuk menyapu tangga gedung asrama sewaktu membesuk saya. Menyapu tangga itu disarankan bukan untuk kemudian agar saya dipuja-puji oleh penghuni asrama sebagai penghuni teladan, tetapi sekadar untuk kenyamanan bapak-ibu saya dan setiap orang yang sedang atau akan menggunakan tangga itu. Karena bapak-ibu saya cukup religius, mereka menambahkan, “biar jadi amal jariyah.”

Sederhana saja, bapak-ibu saya tidak pernah mengharapkan saya meninggalkan warisan besar berupa Nobel Perdamaian, Piala Citra, TikTok Awards, atau penghargaan lainnya. Yang mereka harapkan adalah sekadar saya bisa hidup bersih dan menjaga kebersihan lingkungan sekitar saya. Yang mereka harapkan adalah sekadar saya bisa hidup layak untuk diri sendiri dan orang-orang di sekitar saya.

Maka dari itu, setelah kesulitan menahan dan menuangkan keresahan ini, saya ungkapkan Rest In Poor kepada Badan Eksekutif Mahasiswa dan Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas Islam Malang.

Rest In Poor BEM U dan DPM U

Badan Eksekutif dan Dewan Perwakilan Mahasiswa tentunya tidak akan kehilangan orang-orang kompeten dalam jajarannya. Namun pertanyaannya, kompeten dalam hal apa? Bisa jadi mereka kompeten sebagai pelajar atau mahasiswa di dalam kelas, namun tidak untuk menjadi staf. Bisa jadi mereka kompeten dalam menjadi staf, namun tidak untuk menjadi pimpinan tertinggi organisasi mahasiswa universitas. Dan kenyataan semacam ini yang telah gagal kita baca, cegah, dan atasi selama ini di BEM U dan DPM U UNISMA.

Krisis Eksistensi dan Fungsi

Sejak dalam gelaran debat Calon Presiden Mahasiswa (Capresma) dan Calon Wakil Presiden Mahasiswa (Cawapresma) pada Pemilihan Umum Raya (Pemira) 2024, kita sudah dapat membaca sebaik apa kompetensi dari para pasangan calon (paslon) yang ada. Saat itu memang paslon nomor 1, yang pada akhirnya terpilih menjadi Presma dan Wapresma periode 2025, kekuatannya mendominasi kontestasi. Tapi dominasi yang mereka punya bukan didasari kejelasan visi misi dan kekuatan argumentasi mereka, melainkan fanatisme kosong yang ditunjukkan oleh para pendukungnya. Sehingga pada akhir periodenya ini, kita semua, khususnya mahasiswa Fakultas Hukum, diliputi malu, sesal, dan sebal yang tiada tertahankan.

Bagaimana tidak? Setelah setengah periode menjabat dengan ketidakjelasan orientasi, Presma dan Wapresma malah menghilangkan dirinya pada hampir setengah periode berikutnya. Semenjak selesainya gelaran OSHIKA, kita semua, bahkan anggotanya sendiri sangat kesulitan mencari keberadaan mereka. Lebih miris lagi ketika keburukan itu banyak ditiru oleh menteri-menterinya. Saya menyaksikan sendiri bagaimana sebagian teman-teman yang masih waras berusaha menjaga BEM U tetap hidup dan melangkah ketika kehilangan nahkoda.

Begitu juga dengan DPM U, sebab mereka mewakili daerah pilihannya masing-masing, semestinya mereka mempunyai suatu gerakan dan suara yang selaras dengan gerakan dan suara di Daerah Pemilihan (Dapil)-nya. Namun bagaimana itu bisa terwujud ketika masyarakat di Dapil-nya tak begitu mengenal mereka? Tidak ada kepedulian yang bersilang di antara masyarakat dan calon. Calon tidak peduli betul akan masyarakat, masyarakat bersikap apatis dengan calon. Keadaan seperti ini menjadi sebuah ajang saling menyalahkan yang tak kunjung jua terselesaikan. Pada akhirnya DPM U hanya menjadi organisasi Dewan Perwakilan yang sibuk ketika periodenya akan usai dengan serangkaian kegiatan Pemira.

Keadaan BEM U dan DPM U yang buruk ini berlanjut hingga hari ini, sehari setelah usainya Pemira 2025. Mengapa demikian? Sebab pada akhirnya BEM U dan DPM U diisi lagi oleh orang-orang yang tiada jelas ketepatan kompetensinya. Selain itu juga, kepedulian dan kontribusi mahasiswa dalam Pemira 2025 ini menurun dengan hebat. Padahal di tahun kemarin saja kita tidak memenuhi standar, sedangkan sekarang malah berjalan mundur menuju liang lahat.

Data yang Menipu dan Kebutaan Pemilih

78% mahasiswa UNISMA memilih golput, 6,27% Kotak Kosong, dan 15,73% memilih satu-satunya pasangan calon. Lucunya, saya tidak bisa menemukan 1.192 orang pemilih itu saat penyampaian visi misi paslon.

Setidak-tidaknya semestinya hadir seratus orang di Hall KH. Oesman Mansur, FKIP itu untuk sekadar bersorak. Namun nyatanya tidak genap 50 orang yang duduk di sana. Bahkan yang mengajukan berbagai pertanyaan dan gugatan terhadap visi misi paslon adalah mereka yang merasa paslon ini kurang. Yang hadir dalam gelaran penyampaian visi misi itu pasti sepakat bahwa Capresma-Cawapresma tahun ini sama kurangnya dengan tahun sebelumnya. Mereka seakan-akan tidak berjalan bersama, tapi sama tersesatnya. Yang satu terlampau banyak bicara ke mana-mana, yang satu irit bicara tapi tidak tahu arahnya. Lantas dari mana 1.192 suara ini? Siapa yang bisa membuktikan bahwa semua itu adalah suara murni?

Saya berani asumsikan bahwa 1.192 pemilih itu jika bukan karena manipulasi, maka itu adalah kebutaan dalam menilai. Sebab sampai turun dari panggung pun, tidak satu pun soal, baik dari panelis atau audiens yang bisa dijawab dengan baik dan memuaskan oleh paslon. Selain jawaban yang serba ke mana-mana, yang juga sangat memalukan adalah tidak adanya pengetahuan dari Cawapres tentang apa yang sedang diperingati oleh perempuan. Mereka menjual janji manis seakan-akan ingin membela hak-hak perempuan di lingkungan universitas, namun mereka sendiri tidak tahu betul apa kesulitan yang sedang perempuan hadapi dan apa yang sedang mereka peringati sampai 10 Desember nanti. Mereka sibuk berbicara advokasi, relasi, dan tidak akan mengulangi lagi, namun mereka tak sadar jika mereka ada di depan tanpa isi.

Pukulan Terakhir: Keapatisan Adalah Racun

Namun, apakah Anda sekalian menyadari? Sebenarnya yang paling bajingan di antara kita, paslon dan pemilih, adalah kita semua para pemilih. Kenapa kita tega membiarkan BEM U dan DPM U diisi oleh orang-orang yang tidak pasti kompetensinya? Kenapa kita tega BEM U dan DPM U dicekoki oleh racun-racun yang sama untuk kesekian kalinya?

Netralitas yang suka digaungkan oleh mahasiswa tanpa bendera itu adalah netralitas yang sama sekali kosong, sama sekali bohong. Netralitas yang mereka gaungkan itu sebenarnya adalah keapatisan, senjata paling mematikan selain inkompetensi. Sebab inkompetensi hanya lahir dari rahim kehidupan orang-orang apatis. Sebab inkompetensi hanya lahir dari lidah-lidah orang tak peduli. Sebab inkompetensi hanya lahir dari empati yang mati.

Inkompetensi ini bukan sekadar tentang problem internal dari BEM U dan DPM U, namun ia adalah pengkhianatan terhadap anggaran dan harapan besar yang berasal dari mahasiswa.

Rest In Poor BEM dan DPM UNISMA. Semoga segera datang kabar baiknya, jika tidak, bubar juga bukan suatu masalah.

Tulisan Lain di

Politik Bukan “Seni Pasrah”: Melawan Demokrasi Semu dan Menuntut Jihad Intelektual Mahasiswa UNISMA

Elitis, Eksklusif, dan Degeneratif: Penyakit Kronis Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Kehebohan Amplop Kiai vs. Kelebihan Transfer Rp54 Juta: Dosa Mana yang Lebih Gurih buat Rating TV?

XPose Uncensored, Tayangan yang Menelanjangi Kebodohan Media Komersial

Trailer Film yang Katanya Nasionalis, tapi Bahasanya Campur Aduk

Keadilan yang Membara: Dialog antara Komunis, Islam, dan Literasi yang Terpinggirkan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terbaru

Rest In Poor Badan Eksekutif Mahasiswa dan Dewan Perwakilan Mahasiswa UNISMA

Tok! Fikri-Amila Unggul 71,51% di Pemira Unisma 2025, KPU Tunggu Masa Sanggah 3 Hari Sebelum Penetapan Final

Sukseskan Gelar Grand Final, FKIP Unisma Lahirkan Duta Mahasiswa Profesional dan Berakhlakul Karimah.

Politik Bukan “Seni Pasrah”: Melawan Demokrasi Semu dan Menuntut Jihad Intelektual Mahasiswa UNISMA

Populer

Rest In Poor Badan Eksekutif Mahasiswa dan Dewan Perwakilan Mahasiswa UNISMA

Tok! Fikri-Amila Unggul 71,51% di Pemira Unisma 2025, KPU Tunggu Masa Sanggah 3 Hari Sebelum Penetapan Final

Sukseskan Gelar Grand Final, FKIP Unisma Lahirkan Duta Mahasiswa Profesional dan Berakhlakul Karimah.

Politik Bukan “Seni Pasrah”: Melawan Demokrasi Semu dan Menuntut Jihad Intelektual Mahasiswa UNISMA