"Berbagi Kata, Berbagi Berita"

SARI DAN SEPATU AJAIBNYA

Oleh: Devita Dwi Nuswantari Putri

“Bangun, kau ini gadis macam apa, ayam saja lebih pagi bangunnya daripada kau. Akan kau beri makan apa anak dan suamimu nanti jam segini saja kau masih belum bangun”. Suara wanita setengah baya itu mampu menggemparkan dunia mimpi gadis yang masih menyembunyikan wajahnya di balik selimut. Cahaya matahari yang menerobos sela-sela jendelanya pun tak mampu membuat gadis yang mulai tumbuh remaja itu untuk membuka mata dan beranjak dari tempat tidurnya. Seakan telinganya sudah terbiasa dengan teriakan ibunya bahkan mungkin suara bom pun sudah tak ia hiraukan. Baginya tidur adalah kenikmatan untuk mewujudkan mimpinya yang tertunda.

Apsarini Ardhiona, atau sering disapa dengan Sari itulah namanya.  Nama yang indah bermakna “perempuan cantik yang memiliki jiwa kuat dan bertanggung jawab”. Nama itu adalah pemberian dari almarhum ayahnya yang diambil dari Bahasa Jawa. Bukan tanpa alasan ayahnya memberi nama tersebut, ia ingin Sari tumbuh menjadi perempuan cantik yang kuat seperti Dewi Sinta, tokoh pewayangan yang mengajarkan tentang rasa tanggung jawab, komitmen, cinta, dan keselarasan dengan alam semesta. Ternyata nama tersebut membawa doa tersendiri bagi Sari, ia tumbuh menjadi perempuan yang tahan banting. Baginya kesedihan dalam hidupnya hanya satu yaitu kehilangan.

Tuhan memang Maha adil dalam menentukan porsi kehidupan manusia. Kesedihan yang ditakutkan Sari ternyata terjadi dalam hidupnya. Tujuh tahun yang lalu ia harus kehilangan sosok pahlawan dalam hidupnya, ayahnya meninggal karena serangan jantung. Saat itu Sari masih berusia sepuluh tahun, usia yang cukup belia dan masih membutuhkan figur seorang ayah. Namun ia berusaha untuk tetap tegar dan selalu menganggap ayahnya masih ada meski raga sudah tak terlihat di matanya. Dengan terpaksa ia harus menyelesaikan pendidikannya di tingkat SMA karena tidak ada biaya.

Sedih, pilu, dan resah adalah perasaan yang menghiasi hari-hari Sari. Hidup tanpa seorang ayah seperti tinggal dalam kegelapan yang sunyi, sepi, dan tak ada satupun cahaya. Baginya hidup yang ia jalani sekarang adalah hidup dalam kebutaan, tidak ada yang menuntun dan takut untuk menghadapi segala sesuatu. Tetapi ternyata nasib baik masih mengarah kepadanya, ia dihadirkan sosok perempuan yang setiap hari menjadi tempat untuk mencurahkan segala kegundahan isi hatinya meski setiap hari ia merasa was-was, takut jika neneknya diambil sang Maha kuasa

Terlepas dari segala macam permasalahan dan ketakutan dalam hidupnya, Sari mencoba untuk menjadi perempuan yang tangguh dan berharap keberuntungan terus berpihak kepadanya. Hidupnya penuh dengan tuntutan, bukan seperti perempuan-perempuan lain yang harus dituntut berpenampilan menarik, mendapat IP bagus, dan hal-hal lain yang dirasakan perempuan seusianya. Tetapi ia dituntut untuk berperan menjadi seorang ayah pelindung untuk ibunya bahkan terkadang ia lupa dengan dirinya sendiri, perempuan yang boleh menangis dan mengeluh. Ia pun juga harus dengan terpaksa menghilangkan peran dia sebagai seorang anak.

“Ah, hari sudah pagi saja. Oh… kebunku sebegitu rindunya kau kepadaku, sehingga pagi datang lebih cepat seolah memberi perintah kalau aku harus bergegas menemuimu”. Ucap Sari sembari menari-nari tak jelas dengan mencondongkan tubuhnya ke cermin yang ada di kamarnya.

Setiap pagi Sari selalu pergi ke kebun untuk merawat tanaman kopinya. Ia lakukan itu untuk membantu ibunya. Meski penghasilan dari berkebun kopi tidak terlalu besar setidaknya Sari dan ibunya bisa makan dan memenuhi kebutuhan mereka.

“Makanlah dulu, baru kau boleh pergi ke kebun”. Ibu menyuruh Sari untuk sarapan dan selepas itu ia diperbolehkan untuk pergi.

Setiap pagi ibu Sari memang mewajibkan dirinya untuk makan terlebih dahulu sebelum pergi dengan makanan seadanya. Di meja makan Sari merenung. Ia merasa lelah dan bosan dengan rutinitas yang setiap hari ia lakukan. Mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi, ia lakukan dengan monoton. Dia juga mengeluh ketika setiap pagi ia harus pergi ke kebun dengan jalan kaki menggunakan sepatu bututnya

“Oh Tuhan, bisa-bisa kaki ku terluka jika terus menerus memakai sepatu ini, Berilah aku keajaiban Tuhan biar aku bisa terbang”. Suara lantang keluar dari mulut Sari itu pun langsung mendapat balasan dari ibunya. “Kau ini mengeluh saja setiap hari. Ini semua memang salah ibu, kau punya kepandaian tapi hanya tamat SMA saja. Temanmu pun semua kuliah dan kau masih hidup begini-begini saja”.

Perut Sari terasa kenyang. Kantuk pun mulai masuk dalam tubuhnya. Perlahan kelopak matanya tertutup dan akhirnya ia tertidur pulas di atas kursi reotnya. Suara mendengkur dari mulutnya sudah tak ia hiraukan. Ditambah hembusan angin sepoi-sepoi membuat ia tertidur semakin pulas. Di dalam tidurnya Sari bermimpi, ia mampu membuat sesuatu yang memudahkan hidupnya bahkan hidup manusia di muka bumi ini. Sepatu butut yang sudah lama ia pakai secara tiba-tiba bisa berjalan sendiri sesuai dengan yang ia perintahkan. “ke-ke-bun”. Suara itu datang dari sepatu bututnya. Ia pun terkejut bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi. Sangat mustahil jika Sari mampu mendapatkan sepatu ajaib itu.

“Se-se-patu bututku”. Sari berkata dengan terbata-bata. Dirinya merasa takut namun merasa senang juga karena ia tidak perlu susah-susah untuk jalan kaki ke kebun dan tidak lagi dimarahi oleh ibunya karena sering terlambat datang ke kebun. Sari pun mencoba untuk memakai sepatu di kakinya yang masih kaku karena kaget. Ia pun memberikan aba-aba kepada sepatu tersebut untuk pergi ke kamar mandi. Dengan kecepatan penuh sepatu yang Sari kenakan membawanya ke kamar mandi tanpa terjatuh dan tersesat sekalipun.

Sari masih belum percaya atas kejadian yang ia alami. Sepatu butut peninggalan almarhum ayahnya mampu memberikan perubahan pada hidupnya. Ia tidak perlu menggunakan sepeda atau alat transportasi lainnya untuk pergi ke suatu tempat. Karena kini ia sudah memiliki sepatu ajaib. Ya, sepatu itu memang ajaib. Cara kerjanya menyerupai manusia seperti memiliki akal yang mampu menyerap apa yang diperintahkan, sepatu ajaib itu mampu melaksanakan semua permintaan Sari sesuai perintahnya.

“Wahai sepatu ajaib antarkan aku ke kebun”. Sari memerintahkan sepatu ajaibnya untuk pergi ke kebun menyusul ibunya. Dan lagi-lagi di luar dugaan sepatunya pun mengantar Sari ke tempat tujuan dengan mulus. Serasa ia dibawa terbang. Kecepatan yang dimiliki sepatu ajaibnya melebihi sepeda yang ia miliki. Sesampainya di kebun ibunya pun penasaran mengapa Sari bisa sampai secepat ini padahal waktu ibunya berangkat lebih dulu Sari masih tidur. Dengan terheran-heran ibunya bertanya kepada Sari“Sari, kau tidak mandi, tidak sarapan, atau… kau belum menyapu ya?’. Tuduhan demi tuduhan dilontarkan ibu kepada Sari. Namun, Sari tetap merasa santai dan menjawab “Berkat sepatu ajaib ini Sari bisa pergi dengan cepat, bahkan sampai ke seluruh dunia”.

Mendengar jawaban yang keluar dari mulut Sari ibunya pun merasa bingung lalu tertawa terbahak-bahak. Ia mengira jika Sari sedang bermimpi di siang bolong. Ibunya pun melanjutkan pekerjaan di kebun tanpa mempercayai Sari. karena merasa jengkel Sari pun berteriak “Sepatu ajaib tunjukkan kekuatanmu”. Gubrak, Sari terjatuh dari kursi reotnya. Ia baru menyadari bahwa sepatu ajaib itu hanya mimpi belaka dan iapun tidak mungkin bisa memiliki.

“Ah sial ternyata hanya mimpi”. Gerutu Sari.

Keesokan harinya ketika Sari ingin pergi ke kebun ia terus memandangi sepatunya. Ia berharap mimpinya akan menjadi kenyataan. Ia pun teringat ketika kemarin melihat TV ada berita bahwa sepeda dan mobil sekarang ada yang menggunakan tenaga listrik dan juga bisa berjalan sendiri tanpa dikemudi. Sari pun berfikir jika sepeda dan mobil bisa diubah sepatu bututnya pasti bisa juga diubah. Ia pun langsung lari ke kamar mengambil ponsel pintarnya dan membuka Youtube untuk mencari informasi. Hal itu ia lakukan selama dua bulan lebih. Setelah dua bulan berlalu Sari mulai mengumpulkan alat dan juga perlengkapan untuk merubah sepatu bututnya menjadi sepatu ajaib. Ia lakukan dari pagi sampai bertemu pagi lagi. Meski setiap hari mendapat omelan dari ibunya karena lupa makan dan pekerjaan rumah, Sari tetap melaksanakan misinya untuk menciptakan sepatu ajaib.

Alat sensor dan juga mesin mulai dirakit. Kegagalan demi kegagalan sudah ia rasakan tetapi hal ini tidak membuat Sari berhenti untuk mewujudkan mimpinya. Tidak ada usaha yang mengkhianati hasil, perjuangan Sari selama dua bulan sudah terbukti, ia berhasil menciptakan sepatu ajaib. Sepatu ajaib tersebut adalah sepatu yang dapat mengantarkan manusia ke mana pun pergi tanpa harus berjalan kaki. Sepatu tersebut juga memiliki sensor sehingga mampu menangkap apa yang dikatakan si pemiliknya. Tidak hanya itu sepatu ajaib yang Sari ciptakan memiliki kisaran waktu kapan si pemilik sampai di tempat tujuan.

Sepatu yang diciptakan Sari sudah diperjual belikan. Ibunya bangga terhadapnya. Ia mampu mewujudkan mimpinya. Ia pun sudah diundang ke berbagai seminar untuk menceritakan pengalamannya. “Aku memang senang tidur. Tetapi tidak untuk mendengkur. Dalam tidur aku membentuk mimpi yang akhirnya aku tidak hanya sedang bermimpi”. Kata Sari menutup acara seminar kala itu.

Tulisan Lain di &

Cahaya Padam di Ujung Kemenangan

PUTIBAR: Jejak Sejarah dan puisi lainnya…

Menguak Benang Misteri: 5 Miliar Won Dalam Film Connection

Peringatan Darurat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terbaru

Refleksi Sejarah Resolusi Jihad, Unisma laksanakan Apel Peringatan Hari Santri Nasional 2024

Libatkan Volunteer dari Jurusan Lain, ESA UNISMA Sukses Gelar NEF 2024

Cahaya Padam di Ujung Kemenangan

Dulu Bisa Hampir Setiap Hari Main Judol, Sekarang Tobat

Populer

Refleksi Sejarah Resolusi Jihad, Unisma laksanakan Apel Peringatan Hari Santri Nasional 2024

Libatkan Volunteer dari Jurusan Lain, ESA UNISMA Sukses Gelar NEF 2024

Cahaya Padam di Ujung Kemenangan

Dulu Bisa Hampir Setiap Hari Main Judol, Sekarang Tobat