"Berbagi Kata, Berbagi Berita"

Reformasi Digital yang Terjebak di FYP

Oleh: Muhammad Dzunnurain
Ilustrasi by Kompas.id


Era digital semula diharapkan memperkuat transparansi dan efisiensi layanan publik melalui platform daring, seperti yang dicontohkan pada program Sistem Pemerintah Berbasis Elektronik (SPBE) yang mempermudah akses sekaligus pengawasan data pelayanan. Namun, alih-alih fokus pada tugas pokok, aparatur sipil negara (ASN) justru memanfaatkan media sosial untuk membangun citra pribadi sebagai content creator, yang kadang kala mengabaikan substansi pelayanan yang seharusnya menjadi prioritas utama.


Peralihan peran ini menimbulkan krisis etika digital, karena regulasi terkait penggunaan media sosial oleh ASN meski tertera dalam UU No. 5 Tahun 2014 dan PP No. 53 Tahun 2010 belum merinci ketentuannya mengenai konten publik dan pribadi secara tegas. Bahkan, Surat Edaran PANRB Nomor 137/2018 tentang Penyebarluasan Informasi melalui Media Sosial bagi ASN masih banyak diabaikan, sehingga pelanggaran netiket, penyebaran hoaks, dan unggahan sensasional lebih mendominasi ketimbang konten informatif yang membangun.


Akibatnya, kepercayaan publik terhadap birokrasi kian terkikis. Menurut Ombudsman RI, pada penilaian kepatuhan penyelenggaraan pelayanan publik 2023, hanya 70,7 % lembaga pemerintah yang masuk zona hijau, sementara sisanya masih di zona kuning dan merah, mencerminkan ketidakkonsistenan ASN dalam memenuhi standar pelayanan. Di sisi lain, survei SP4N-LAPOR! tahun 2020 mencatat tingkat kepuasan pengguna sebesar 75,7 %, tetapi angka ini rawan menurun apabila keluhan masyarakat di media sosial tidak ditindaklanjuti secara nyata oleh instansi terkait.


Lebih jauh, pola viral-based policy yang digerakkan oleh unggahan ASN berpotensi menimbulkan disinformasi dan polarisasi opini. Penanganan konten kontroversial tanpa kerangka kerja yang jelas memudahkan tersebarnya informasi menyesatkan, di mana kurangnya standar verifikasi konten instansi pemerintah dapat merusak kredibilitas dan menimbulkan keraguan publik.


Meski begitu, partisipasi aktif masyarakat melalui saluran pengaduan masih menjadi harapan. Seperti laporan viral oleh Gen-Z ASN atas kasus Jovi Andrea dan Husein Ali, memicu perhatian publik. Untuk itu, tata kelola pengaduan publik seperti LAPOR! perlu diintegrasikan dengan audit digital berkala oleh Ombudsman dan BPKP, sehingga keluhan yang muncul di media sosial dapat diterjemahkan menjadi kebijakan perbaikan yang konkret.

Muhammad Dzunnurain

Warga LPM Fenomena

Tulisan Lain di

Keadilan yang Membara: Dialog antara Komunis, Islam, dan Literasi yang Terpinggirkan

Gen Z Tak Mau Lepas, atau Memang Tak Bisa Lepas dari Layar?

Hari Kebebasan Pers Sedunia 2025: Saat Suara Kritis Dibungkam, Demokrasi Terancam

Lebaran Tanpa Tren Velocity, Bisa Gak Sih?

Self-Love: Menjaga Kewarasan Mental di Tengah Ekspektasi Akademis yang Tinggi

Efisiensi Anggaran dan Risiko Ketidakstabilan Politik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terbaru

Lewat Pentas “Rumpang”, Mahasiswa PBSI Unisma Sajikan Realitas Keluarga Tak Utuh dan Pertanyaan Menggantung.

Adakan Pelatihan untuk Anggota Baru, LPM Fenomena Siap Upgrade Misi

Calon Wisudawan FKIP Unisma Berjalan Gagah Dengan Senyum Sumringah Saat Pengukuhan Lulusan Periode Ke-76

Jadi Dosen Tamu di Universiti Putra Malaysia, Dr. Ari Ambarawati Perkenalkan Fiksi Anak Bertema Lingkungan

Populer

Lewat Pentas “Rumpang”, Mahasiswa PBSI Unisma Sajikan Realitas Keluarga Tak Utuh dan Pertanyaan Menggantung.

Adakan Pelatihan untuk Anggota Baru, LPM Fenomena Siap Upgrade Misi

Calon Wisudawan FKIP Unisma Berjalan Gagah Dengan Senyum Sumringah Saat Pengukuhan Lulusan Periode Ke-76

Jadi Dosen Tamu di Universiti Putra Malaysia, Dr. Ari Ambarawati Perkenalkan Fiksi Anak Bertema Lingkungan