Melangkah dari ruang kelas yang dipenuhi teori-teori hisab, puluhan mahasiswa Universitas Islam Malang (Unisma) menjejakkan kaki dalam sebuah perjalanan yang melampaui batas kitab-kitab Falak: menyusuri jejak Al-Khawarizmi, sang perintis astronomi Islam, langsung di garis ufuk Bukit Codrodipo, Gresik. Praktik lapangan rukyatul hilal yang digelar oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Agama Islam (BEM FAI) bersama Lembaga Pengkajian Islam dan Keaswajaan (LPIK) ini, bukan sekadar agenda akademis, melainkan sebuah ziarah ilmiah dan spiritual untuk menyibak rahasia langit secara langsung. Sebuah lamgkah pembuktian bahwa realitas tak sepenuhnya sama dengan teori yang telah dipelajari.
Berangkat dari kampus pukul 10.00 WIB, rombongan mahasiswa memulai perjalanan ilmiah dan spiritual ini dengan ziarah ke makam Sayyid Ali Rahmatullah atau biasa dikenal Sunan Ampel di Surabaya, salah satu Wali Songo yang menjadi simbol awal penyebaran Islam di Jawa. Setelah menunaikan salat Jumat di Masjid Sunan Ampel, Surabaya, perjalanan dilanjutkan ke lokasi utama kegiatan yakni, Bukit Codrodipo, Gresik. Sebuah titik pengamatan hilal yang telah lama digunakan oleh Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU).
Dalam kegiatan ini, para mahasiswa didampingi langsung oleh pakYoyok Amirudin, M.Pd.I., PH.D., dosen Unisma dan Dr. Imam Syafi’i, M.Pd., ketua LPIK Unisma, yang memberikan arahan teknis sekaligus pembekalan materi lapangan. Agenda dilaksanakan dengan tertib dan penuh antusiasme, sebagai bentuk keseriusan mahasiswa dalam mengaplikasikan ilmu falak yang telah dipelajari beberapa bulan sebelumnya.
Turut hadir pula dalam kegiatan tersebut Kyai Abdul Mu’id Zahid, salah satu pemateri utama sekaligus pembimbing dalam operasional kegiatan keilmuan falak di lingkungan LFNU Gresik. Dalam penyampaiannya, beliau menekankan pentingnya pengamatan hilal secara langsung di samping metode hisab.
“Mengetahui hilal ini sangat penting karena hisab saja tidak cukup untuk menentukan waktu. Menggunakan satu metode hilal yang berbeda saja bisa menyebabkan perbedaan waktu, hari ini kami membandingkan 5 kitab falak sekaligus, dan juga melakukan Rukyatul Hilal secara langsung.” ujarnya di hadapan peserta.
Pemaparan beliau membuka wawasan mahasiswa tentang dinamika penentuan awal bulan dalam Islam, serta urgensi integrasi antara pendekatan astronomis dan rukyat fi’liyah yang sesuai dengan keadaan langit, di gedung LFNU Gresik menggunakan 4 teleskop canggih dan banyak pakar astronomi juga hadir bersama-sama melakukan proses ini.
Pemilihan lokasi Bukit Codrodipo bukan sekadar pilihan geografis, melainkan keputusan strategis yang dilandaskan pada presisi ilmiah. Hal ini ditegaskan oleh Ustaz Mukorrobin, pengamat hilal dari LFNU Blitar, yang turut mendampingi kegiatan tersebut.
“Lokasi Condrodipo dipilih karena berada di dataran tinggi dengan pemandangan luas tanpa halangan. Posisi itu sangat ideal untuk memantau hilal, terutama di arah barat bagian utara, dan juga dari sinilah yang sering dapat melihat hilal secara nasional.” ungkapnya dalam sesi pengarahan.

Mengusung semangat Al-Khawarizmi, sang ilmuwan muslim perintis ilmu hisab dan astronomi Islam, kegiatan ini menjadi medium penghubung antara teori, sejarah, dan praktik. Mahasiswa diajak tidak sekadar menghitung posisi matahari dan bulan dalam tabel, tetapi menyaksikan langsung bagaimana hilal—bulan sabit pertama penanda masuknya bulan baru hijriyah—tampak secara kasatmata, di hadapan langit yang terbuka.
Menjelang waktu terbenam, mahasiswa mulai melakukan rukyat menggunakan alat bantu optik seperti teleskop dan teropong. Hilal bulan Safar menjadi objek utama observasi, dengan kondisi langit yang cukup mendukung di ufuk barat. Meski tantangan cuaca dan visibilitas selalu menjadi faktor tak terduga dalam rukyat, kegiatan ini menjadi pengalaman berharga dalam membentuk pemahaman menyeluruh tentang ilmu falak. Puncaknya pada pukul 17.40 hilal disaksikan oleh beberapa perukyat dan kemudian ditulis dalam berita acara dilaporkan bahwa, hilal terlihat disore itu, maka diputuskan bahwa sudah masuk tanggal 1 Safar 1447 H.
Bagi kami, ini merupakan pengalaman pertama melakukan pengamatan hilal secara langsung di lokasi yang profesional. Antusiasme para peserta mencerminkan semangat belajar yang melampaui batas ruang kelas, menjadikan langit sebagai laboratorium terbuka.
“Ini bukan hanya soal rukyat, tapi tentang bagaimana mahasiswa belajar mengenali waktu, membaca tanda-tanda langit, dan menyambungkan ilmu dengan tradisi Islam yang kuat Seperti yang dilakukan oleh Al Khawirizm,” ujar Bapak Yoyok, Pendamping Kader LPIK Unisma.
Kegiatan berakhir sekitar pukul 18.30 WIB, dilanjutkan dengan refleksi singkat dan dokumentasi bersama. Rombongan kemudian kembali ke kampus UNISMA di Malang pada pukul 19.00 WIB dengan membawa pengalaman baru, bukan hanya sebagai pelajar, tapi juga sebagai perintis muda pelestari ilmu falak Islam di era modern, sebagai kader falak dari LPIK Unisma.