"Berbagi Kata, Berbagi Berita"

Hari Kebebasan Pers Sedunia 2025: Saat Suara Kritis Dibungkam, Demokrasi Terancam

Oleh: Safira Ramadani Mahfud
Ilustrasi/ Kompasian.com

Sembari dunia merayakan Hari Kebebasan Pers Sedunia 2025, kita dihadapkan dengan ironi yang mengecam, di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Pada kenyataannya, suara-suara kritis jurnalis kini dibungkam dengan cara yang lebih halus dan canggih. Ketika wartawan dipecat, diintimidasi atau ditahan karena karya-karya kritisnya. Bukan hanya nasib individu yang dipertaruhkan, saat pilar keempat ini terancam, artinya fondasi demokrasi Indonesia sedang goyah.
Kebebasan pers ini bukanlah konssep abstrak. Ini adalah hak fundamental yang menjamin penyaluran informasi bebas, pertukaran pikiran, penyuaraan gagasan dan pengawasan terhadap kekuasaan. Sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 PASAL 28 F, bahwa setiap warga negara berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.

Kebebasan pers merupakan wujud kedaulatan rakyat dan pilar penting bagi nyawa demokrasi. Namun pada kenyataannya, pilar keempat ini semakin rapuh. Sepanjang tahun 2024 hingga 2025 saja kita masih menyaksikan berbagai bentuk pembungkaman terhadap suara kritis jurnalis. Mulai dari kasus kekerasan terhadap wartawan, tekanan ekonomi terhadap media independen, hingga pemecatan wartawan yang menyuarakan kebenaran yang tidak selaras dengan kepentingan penguasa atau korporasi.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, mencatat terdapat 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media sepanjang 1 Januari hingga 31 Desember 2024. Lalu dilansir dari hukumonline.com, di tiga bulan pertama tahun 2025, sedikitnya telah tercatat enam kasus kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis di Indonesia. Angka-angka ini bukan sekadar statistik, melainkan bukti nyata betapa profesi jurnalis di tanah air masih rentan menjadi sasaran kekerasan saat menjalankan tugas mereka mengawal demokrasi.

Selanjutnya, fenomena pemecatan jurnalis kritis telah menjadi tren yang sangat mengkhawatirkan. Beberapa media mainstream yang harusnya menjadi benteng demokrasi justru berlomba-lomba melepaskan jurnalis berintegritas dan berani mengkritisi penguasa. Alasannya sangat beragam, mulai dari restrukturisasi organisasi hingga pelanggaran kode etik yang seringkali kabur definisi.
Tanpa suara kritis, masyarakat kehilangan akses terhadap kebenaran, dan kekuasaan berpotensi disalahgunakan tanpa pengawasan. Reporters Without Borders (RSF) telah melaporkan kebebasan pers global berada pada titik terendah akibat tekanan kekerasan dan ekonomi. Indonesia sendiri turun 16 peringkat di Indeks kebebasan pers Dunia 2025. Laporan ini menunjukkan bahwa negara sedang menghadapi tantangan besar dalam menjaga kemerdekaan pers.

Ancaman lain juga datang melalui perkembangan digital. Era digital ini kini hadir dengan tantangan besar bagi kebebasan pers. Di satu sisi, teknologi telah membuka ruang-ruang baru bagi jurnalisme warga untuk berekspresi dan menyebarkan informasi tanpa batas. Tetapi, di sisi lain kita menyaksikan peningkatan disinformasi, ujaran kebencian, dan polarisasi yang mengancam integritas informasi publik.
Cara kerja media sosial yang lebih mementingkan konten sensasional dan memecah belah serta ancaman siber terhadap jurnalis, ini menciptakan lingkungan yang semakin tidak ramah bagi jurnalisme berkualitas. Tekanan ekonomi dari model bisnis digital juga memaksa banyak media untuk mengorbankan independensi editorial demi keberlangsungan finansial.

Peringatan Hari Kebebasan Pers ini seharusnya menjadi momentum bagi kita semua untuk lebih peka terhadap kondisi kebebsan pers saat ini. Ketika suara-suara kritis dibungkam, melalui kekerasan fisik, tekanan ekonomi, maupun manipulasi digital, sesungguhnya yang sedang sekarat adalah demokrasi itu sendiri.
Kebebasan Pers bukanlah kemewahan, melainkan kebutuhan vital bagi nyawa demokrasi. Masa depan demokrasi kita bergantung pada bagaimana kita melindungi dan memperkuat suara-suara kritis yang kini berada di bawah ancaman.

Editor: Faizal Mubarok Ar-Rofy

Safira Ramadani Mahfud

Warga LPM Fenomena, Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Tulisan Lain di

Keadilan yang Membara: Dialog antara Komunis, Islam, dan Literasi yang Terpinggirkan

Gen Z Tak Mau Lepas, atau Memang Tak Bisa Lepas dari Layar?

Reformasi Digital yang Terjebak di FYP

Lebaran Tanpa Tren Velocity, Bisa Gak Sih?

Self-Love: Menjaga Kewarasan Mental di Tengah Ekspektasi Akademis yang Tinggi

Efisiensi Anggaran dan Risiko Ketidakstabilan Politik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terbaru

Mahasiswa FKIP Unisma Berikan Kontribusi Nyata Lewat PBLI-KSM di MAN Kota Batu

Dari Kampus ke Codrodipo: Mahasiswa Unisma Menyusuri Langit Al-Khawarizmi

FKIP Unisma Siap Lepas Mahasiswa Praktik Mengajar ke Sekolah

FKIP Unisma Resmi Buka Pembekalan PBLI-KSM 2025, Siapkan 163 Mahasiswa Terjun ke Sekolah

Populer

Mahasiswa FKIP Unisma Berikan Kontribusi Nyata Lewat PBLI-KSM di MAN Kota Batu

Dari Kampus ke Codrodipo: Mahasiswa Unisma Menyusuri Langit Al-Khawarizmi

FKIP Unisma Siap Lepas Mahasiswa Praktik Mengajar ke Sekolah

FKIP Unisma Resmi Buka Pembekalan PBLI-KSM 2025, Siapkan 163 Mahasiswa Terjun ke Sekolah