"Berbagi Kata, Berbagi Berita"

Kehebohan Amplop Kiai vs. Kelebihan Transfer Rp54 Juta: Dosa Mana yang Lebih Gurih buat Rating TV?

Oleh: Muhammad Dzunnurain
Ilustrasi: KabarKendariNews.com & PortalJatim24.com

Beberapa hari terakhir, publik disuguhi dua headline panas yang datang hampir bersamaan. Yang satu berbau agama dan etika penyiaran, yang satunya lebih ke teknis dan juga lebih jauh serius.

Headline pertama, Boikot Trans7 karena tayangan yang dianggap mencemarkan nama baik kiai, santri, dan pesantren. Tagar trending, ormas turun tangan, politisi teriak-teriak, sampai PBNU pun mengambil langkah hukum.

Headline kedua, ada kasus yang mestinya jauh lebih serius: Isu Kenaikan Dana Reses DPR RI yang tiba-tiba katanya “kelebihan transfer” Rp54 juta ke kantong anggota dewan. Dana yang kabarnya lantas diklaim sebagai “kesalahan teknis” belaka.

Tebak mana yang beritanya lebih cepat hilang? Ya, tentu saja yang soal Rp54 juta itu.

Di sinilah kita wajib mempertanyakan kembali kewarasan framing media konvensional. Sebab, jelas-jelas media hari ini lebih bernafsu untuk berlama-lama di kamar sebelah ( headline kiai) daripada menggedor pintu ruang audit ( headline DPR).

Kiai, Amplop, dan Sajian Favorit Media

Mari kita bedah dulu kasus Trans7. Narasi yang menyinggung kehidupan santri dari istilah ngesot hingga framing amplop kiai sebagai eksploitasi memang pantas dikecam. Apalagi jika tayangan itu tidak berimbang dan slebor dalam etika jurnalistik.

Berbagai media langsung beramai-ramai menjadikan isu ini headline . Berita muncul berhari-hari, mengutip kecaman dari sana-sini. Sebagian besar angle difokuskan untuk memicu outrage publik dan solidaritas keagamaan.

Kenapa isu ini begitu laris manis?

Sederhana. Isu moral, agama, dan tokoh kharismatik adalah resep rating paling manjur di negeri ini. Konflik antara entitas keagamaan yang dihormati (kiai/pesantren) melawan entitas sekuler (media/TV swasta) adalah tontonan yang “gurih”. Emosi publik langsung teraduk, share dan comment membludak. Singkatnya, dosa moral dan agama jauh lebih mudah dijual ketimbang dosa anggaran.

Sekarang kita pindah ke kasus Rp54 juta. Ini uang rakyat yang seharusnya dipakai untuk membeli ambulans, memperbaiki sekolah, atau menambal jalan bolong, eh malah numpang mampir di rekening anggota DPR.

Saat isu ini mencuat, media sempat ramai. Tapi keramaiannya cuma sebatas mengutip klarifikasi Pimpinan DPR, Bapak Sufmi Dasco Ahmad. Intinya: “Ada kesalahan dari kesekretariatan jenderal, salah transfer, sudah didebit balik. Aman” Semudah itu.

Tidakkah aneh? Kenapa media tidak seramai itu menuntut audit forensik? Kenapa tidak ada follow-up investigatif yang berani mempertanyakan kejanggalan kronologis “salah transfer” yang begitu ajaib? Kenapa DPR begitu mudah dimaafkan hanya dengan menghela napas, “Ya namanya juga salah teknis”?

Absurditas Framing: Media Lebih Takut Tagar #BoikotTrans7 daripada Duit Rakyat

Mereka mati-matian mengejar isu Boikot Trans7 karena takut pada tagar, amarah massa, dan sanksi KPI. Mereka rela berinvestasi waktu, tenaga, dan resource untuk meliput angle yang berpotensi melukai sentimen agama, demi rating dan citra. Sementara isu Dana Reses DPR yang secara substansial merugikan hajat hidup orang banyak, dibiarkan menguap begitu saja.

Lain kali, jika DPR ingin skandal lagi dan cepat hilang, tidak perlu menyuap atau rilis advertorial ke media. Cukup pastikan ada isu kiai, selebritas selingkuh, atau video viral yang jauh lebih emosional terjadi pada saat bersamaan. Dijamin, berita akan otomatis hilang begitu saja.

Selamat tinggal, Dana Reses DPR RI. Semoga kamu tenang di alam baka berita. Dan semoga para influencer media sosial ke depan bisa lebih waras daripada media-media besar.

Tulisan Lain di

Rest In Poor Badan Eksekutif Mahasiswa dan Dewan Perwakilan Mahasiswa UNISMA

Politik Bukan “Seni Pasrah”: Melawan Demokrasi Semu dan Menuntut Jihad Intelektual Mahasiswa UNISMA

Elitis, Eksklusif, dan Degeneratif: Penyakit Kronis Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

XPose Uncensored, Tayangan yang Menelanjangi Kebodohan Media Komersial

Trailer Film yang Katanya Nasionalis, tapi Bahasanya Campur Aduk

Keadilan yang Membara: Dialog antara Komunis, Islam, dan Literasi yang Terpinggirkan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terbaru

Rest In Poor Badan Eksekutif Mahasiswa dan Dewan Perwakilan Mahasiswa UNISMA

Tok! Fikri-Amila Unggul 71,51% di Pemira Unisma 2025, KPU Tunggu Masa Sanggah 3 Hari Sebelum Penetapan Final

Sukseskan Gelar Grand Final, FKIP Unisma Lahirkan Duta Mahasiswa Profesional dan Berakhlakul Karimah.

Politik Bukan “Seni Pasrah”: Melawan Demokrasi Semu dan Menuntut Jihad Intelektual Mahasiswa UNISMA

Populer

Rest In Poor Badan Eksekutif Mahasiswa dan Dewan Perwakilan Mahasiswa UNISMA

Tok! Fikri-Amila Unggul 71,51% di Pemira Unisma 2025, KPU Tunggu Masa Sanggah 3 Hari Sebelum Penetapan Final

Sukseskan Gelar Grand Final, FKIP Unisma Lahirkan Duta Mahasiswa Profesional dan Berakhlakul Karimah.

Politik Bukan “Seni Pasrah”: Melawan Demokrasi Semu dan Menuntut Jihad Intelektual Mahasiswa UNISMA