Ledakan Covid-19 mengguncang stabilitas dunia pendidikan. Pasalnya, pandemi ini merimpus pola pembelajaran luar jaringan (luring) menjadi dalam jaringan (daring) dengan waktu sekejap. Hal tersebut termaktub dalam maklumat yang telah dikeluarkan pemerintah pada 24 Maret 2020 tentang Pelaksanaan Pendidikan dalam Masa Darurat Coronavirus Disease (Covid-19). Dalam edaran tersebut secara terang diintegrasikan bahwa tujuan daripada pelaksanaan pembelajaran daring adalah mencegah prevalensi Covid-19 bagi staff, tenaga pendidik maupun peserta didik dan memastikan pemenuhan hak peserta didik untuk mendapatkan layanan pendidikan yang efisien serta sebagaimana mestinya selama darurat Covid-19 dengan metode penyelenggaraan yang aman. Putusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terkait pedoman penyelenggaraan pembelajaran daring selama Covid-19 dalam Surat Edaran Nomor 15 tahun 2020 pun menjadi atribut yang mempertegas kebijakan di atas.
Alternatif media pembelajaran daring mulai bermunculan dan sangat aplikatif. Mulai dari zoom meeting, google classroom, Edmodo, google form, e-learning, hingga buku modul mahasiswa yang dikemas dalam bentuk digital, diharap dapat mendampingi tenaga pendidik dalam upaya mewujudkan efektivitas pembelajaran daring selama pandemi Covid-19. Dalam lingkup universitas, pengoperasian media pembelajaran daring agaknya sudah maksimal. Mahasiswa mudah beradaptasi dengan tata penyelenggaraan pendidikan yang demikian. Mereka dituntut untuk tetap produktif dan dinamis selama pembelajaran dari rumah. Dosen pun tidak lepas kendali untuk terus membimbing mahasiswa agar tetap berprestasi- sehingga dapat dikatakan telah memenuhi tupoksi selaku pendidik. Dengan demikian, laporan hasil Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) akan dapat berjalan dengan baik, jujur, dan apa adanya. Namun tidak menutup kemungkinan terjadi negasi antara situasi KBM di lapangan dengan laporan hasil KBM yang dibuat oleh pendidik yang bersangkutan. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa ada sedikit peluang bagi pendidik untuk merekayasa laporan hasil KBM.
- Kolonialisme dalam Pendidikan
Tidak banyak dari tenaga pendidik yang melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan tugas pokok & fungsinya (tupoksi). Kasus yang lazim ditemui adalah pendidik tidak bertanggungjawab terhadap KBM mahasiswa di dalam kelas selama beberapa waktu. Ketika hal tersebut terjadi dalam sekali atau dua kali jam pelajaran (JP), mungkin masih bisa ditolerir. Namun jika tindakan yang tidak dibenarkan secara hukum tersebut berlangsung selama masa aktif mengajar, maka itu adalah suatu khilaf yang patut dijernihkan. Ironisnya, sebagian mahasiswa lainnya sudah terlalu euforia dengan keadaan tersebut. Mereka yang senang dengan jamkos akan memberi tindakan represif bagi mahasiswa yang rajin mengingatkan jam pelajaran dosen. Mau tidak mau, karena ¾ kelas dipenuhi dengan mahasiswa yang malas belajar maka ¼ lainnya harus bungkam dan terima nasib.
Hal tersebut juga terjadi di kampus saya. Dalam suatu kelas yang diampu oleh dosen X, KBM tidak berjalan sebagaimana baiknya. Hampir pertengahan semester dosen X tidak melaksanakan interaksi aktif dengan mahasiswa- hanya sekali saat membagikan semua rangkuman materi yang sebelumnya tidak pernah dijelaskan kepada mahasiswa kemudian diunggah di platform pembelajaran online namun tetap tidak ada penjelasan lebih lanjut- dan bahkan tidak memberi tugas ujian akhir semester. Apakah mungkin beliau lupa dan menjadi kesalahan bagi mahasiswa sebab tidak mengingatkan jadwal ujian beliau. Faktanya adalah mahasiswa-mahasiswa angkatan sebelumnya pun mengalami kondisi pembelajaran yang sama tetapi mereka tidak mempermasalahkan situasi ini sebab mereka menganggap ini adalah hal yang menguntungkan. Mereka bisa menyelesaikan pekerjaan lain, mengerjakan tugas lain, atau bahkan bermain secara bebas tanpa ada pikiran bahwa hak untuk mendapatkan pembelajaran atas materi dari dosen X telah terenggut. Mereka beranggapan bahwa mendapat satu dispensi mata kuliah dalam satu semester, itu hal yang menyenangkan tetapi saat ujian akhir semester seluruh materi pembelajaran mulai dari pertemuan awal hingga akhir (termasuk tugas UAS) diberikan saat tanggal pelaksanaan UAS. Hal tersebut dapat diidentifikasi dan dicek kebenarannya melalui tanggal pemberian materi ataupun tugas UAS yang diberikan dosen X serta tanggal pengiriman pesan (yang berisi informasi pengingat terkait jam pembelajaran dosen X sudah dimulai) beberapa mahasiswa yang peduli dengan hak untuk mendapat pendidikan namun tak ada respons yang berarti pada WhatsApp grup. Tentu situasi yang demikian tidak bisa dikatakan dilakukan dengan tanpa sengaja. Sebab siklus pembelajaran yang dilakukan dosen X sudah terjadi dalam sekian angkatan, bukan hanya angkatan di tahun ini. Apakah masih bisa dikatakan dosen X lupa dan tidak sengaja jika dilakukan secara turun-temurun dengan waktu dan angkatan mahasiswa yang sudah kesekian kalinya?
Bagaimana bisa seorang yang tidak melaksanakan tugas dan kewajiban tetap mendapatkan hak atas gajih, tunjangan, gelar, dan penghormatan? Mengapa jika tidak profesional harus tetap dipertahankan? Apa tidak sebaiknya dilepas dan diganti dengan pendidik yang memang sadar akan tugas dan tanggung jawabnya terhadap mahasiswa? Bukan hanya dosen yang tenang dan tidak memedulikan tugasnya, kekolotan mahasiswa yang senang dengan jamkos pun mengambil peran dalam kekhilafan ini. Yang kritis diimpit, yang aktif dikira sok provokatif, yang intelek dicap terlalu kompleks. Ketidakbenaran patutnya dipertanyakan bukan malah diserukan. Hak mendapatkan materi, pengajaran, dan bimbingan adalah sesuatu yang mutlak untuk didapat peserta didik. Pemerintah juga menjamin hak tersebut dalam UUD RI 1945 Pasal 30 Ayat 1-5 yang substansinya adalah hak warga negara Indonesia dalam memeroleh pendidikan yang sebagaimana mestinya.
- Pelanggaran, Sanksi, Konstitusi
Kompatibel dengan pasal yang telah disebut, lebih lanjut pada Pasal 1 UU RI Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menekankan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru sebagai figur dalam kehidupan peserta didik wajib memberikan teladan dan ilmu yang baik.
Ketika terjadi tindak pelanggaran pendidik terhadap tupoksinya dan dilakukan secara sengaja, maka sudah semestinya pendidik mendapat sanksi. Tujuannya adalah untuk melindungi hak asasi peserta didik dari tindakan sewenang-wenang guru/dosen yang dapat merugikan mahasiswa selaku peserta didik. Minimal sanksi yang harus diberikan adalah teguran secara langsung, baik secara lisan maupun tulisan. Jika masih tidak ada kesadaran, maka menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 74 tahun 2008 Pasal 63 BAB VII Ayat 1 & 2 tentang Sanksi Terhadap Guru putusan yang dapat diambil adalah sebagai berikut. Ayat (1) Guru yang tidak dapat memenuhi kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 82 ayat (2) UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk memenuhinya, kehilangan hak untuk mendapat tunjangan fungsional atau subsidi dan maslahat tambahan. Ayat (2) Guru yang tidak dapat memenuhi kewajiban melaksanakan pembelajaran 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan tidak mendapat pengecualian dari Menteri dihilangkan haknya untuk mendapat tunjangan profesi, tunjangan fungsional atau subsisi tunjangan profesi, dan maslahat tambahan. Dengan demikian, jika seorang pendidik tidak profesional dalam memenuhi tugas pokok, kewajiban, dan fungsinya maka pendidik tersebut tidak berhak mendapatkan fasilitas-fasilitas akseptabel yang telah disediakan pemerintah dan lembaga pendidikan terkait.