Efisiensi anggaran merupakan salah satu strategi utama yang diusung Presiden Prabowo Subianto dalam mengelola keuangan negara. Kebijakan ini bertujuan untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya demi mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Dengan efisiensi anggaran, pemerintah dapat mengalokasikan dana secara lebih strategis ke sektor-sektor prioritas seperti pertahanan, pendidikan, kesehatan, dan ketahanan pangan.
Namun, di balik manfaat ekonomi yang ditawarkan, muncul potensi dampak politik yang tidak bisa diabaikan. Penghematan yang dilakukan dalam satu sektor sering kali menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, baik dari kalangan birokrasi, aktor politik, maupun masyarakat luas. Jika tidak dikelola dengan baik, efisiensi anggaran yang dimaksudkan untuk memperkuat stabilitas ekonomi justru bisa berujung pada defisiensi politik yang melemahkan pemerintahan.
Rasionalitas Efisiensi Anggaran
Dalam kebijakan anggaran yang diterapkan, pemerintah telah berhasil melakukan efisiensi sebesar Rp 306,7 triliun dalam APBN 2025. Dana tersebut kemudian dialihkan untuk mendanai program prioritas, salah satunya Makan Bergizi Gratis yang dirancang untuk meningkatkan kualitas gizi anak-anak sekolah.
Program ini telah menerima alokasi awal sebesar Rp 71 triliun untuk menjangkau 19,47 juta penerima manfaat, dan diharapkan cakupannya dapat diperluas hingga 82,9 juta penerima dengan tambahan anggaran Rp 100 triliun. Selain itu, efisiensi anggaran juga diarahkan untuk memperkuat sektor pertahanan dengan modernisasi alutsista dan peningkatan kesejahteraan prajurit. Sektor infrastruktur pun mendapat perhatian dengan pengembangan jalan nasional dan transportasi berbasis digital guna mendukung pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, pendidikan dan kesehatan memperoleh anggaran tambahan untuk perbaikan fasilitas serta pemberian beasiswa bagi siswa kurang mampu. Pemerintah juga meningkatkan alokasi anggaran untuk sektor ketahanan pangan dan energi demi mengurangi ketergantungan terhadap impor serta memastikan keberlanjutan ekonomi nasional.
Efisiensi Anggaran sebagai Instrumen Politik
Konsep efisiensi dalam ekonomi telah lama menjadi perhatian para pemikir klasik. Adam Smith dalam The Wealth of Nations (1776) menekankan bahwa efisiensi dalam pembagian kerja dapat meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan ekonomi. Prinsip ini relevan dalam konteks pengelolaan anggaran negara, di mana distribusi sumber daya yang tepat dapat memaksimalkan manfaat ekonomi.
Efisiensi anggaran memungkinkan pemerintah mengurangi ketergantungan terhadap utang luar negeri dan meningkatkan kemandirian fiskal. Dengan alokasi yang lebih efektif, program-program prioritas dapat lebih optimal dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Selain itu, kebijakan ini dapat memperkuat kredibilitas pemerintah dengan menunjukkan komitmen terhadap pengelolaan keuangan yang bersih dan transparan.
Lebih jauh, pengurangan pemborosan dalam belanja negara juga berkontribusi dalam menjaga stabilitas ekonomi dan mencegah inflasi yang tidak terkendali.
Defisiensi Politik sebagai Risiko Efisiensi Anggaran
Meski memiliki berbagai manfaat, efisiensi anggaran tidak bisa dilepaskan dari potensi dampak politik yang mengikutinya. Max Weber dalam Economy and Society (1922) menjelaskan bahwa birokrasi yang rasional dapat meningkatkan efektivitas pengelolaan sumber daya, tetapi pada waktu bersamaan, perubahan dalam struktur anggaran dapat menimbulkan resistensi.
Pemangkasan anggaran atau pengalihan dana dari sektor tertentu dapat memicu ketidakpuasan dari berbagai aktor politik, termasuk parlemen dan partai koalisi. Jika tidak ada pendekatan komunikasi yang baik, kebijakan ini bisa dianggap sebagai ancaman bagi kepentingan politik mereka.
Di sisi lain, birokrat yang sudah terbiasa dengan pola anggaran tertentu cenderung menolak perubahan yang dapat mengurangi sumber daya bagi instansi mereka. Akibatnya, implementasi kebijakan efisiensi dapat terhambat jika tidak diimbangi dengan strategi mitigasi yang tepat.
Dampak lain yang perlu diperhatikan adalah potensi turbulensi sosial yang muncul akibat pengurangan anggaran di sektor tertentu. Jika efisiensi anggaran menyebabkan pemangkasan subsidi atau bantuan sosial, maka reaksi negatif dari masyarakat bisa tidak terhindarkan.
Rakyat yang merasa dirugikan oleh kebijakan ini bisa kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah, yang dalam jangka panjang dapat berujung pada ketidakstabilan politik. Jika pemerintah pusat juga mengurangi transfer dana ke daerah, hal ini bisa memperburuk hubungan antara pusat dan daerah, memicu ketegangan politik yang lebih luas.
Dalam kondisi ekstrem, ketidakpuasan publik dapat dimanfaatkan oleh kelompok oposisi untuk melemahkan legitimasi pemerintahan. Kritik terhadap efisiensi anggaran dapat dijadikan alat politik untuk menyerang kebijakan pemerintah, menciptakan narasi bahwa efisiensi yang dilakukan bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan hanya untuk menekan pengeluaran tanpa mempertimbangkan dampak sosialnya.
Strategi Mitigasi untuk Menghindari Defisiensi Politik
Untuk menghindari risiko defisiensi politik akibat kebijakan efisiensi anggaran, strategi mitigasi yang komprehensif perlu diterapkan:
Pertama, komunikasi publik yang efektif harus menjadi prioritas. Pemerintah harus secara transparan menjelaskan alasan dan manfaat dari kebijakan ini kepada masyarakat, bukan hanya kepada kalangan birokrasi. Kejelasan dalam penyampaian informasi dapat mengurangi kesalahpahaman dan meningkatkan dukungan publik terhadap kebijakan yang diambil.
Kedua, mitigasi sosial perlu dilakukan dengan mengalokasikan dana kompensasi bagi sektor-sektor yang terdampak. Dengan demikian, masyarakat tetap dapat merasakan manfaat dari efisiensi anggaran, bukan justru merasa kehilangan hak-hak ekonomi mereka.
Ketiga, membangun konsensus politik menjadi langkah penting dalam memastikan stabilitas pemerintahan. Keterlibatan berbagai aktor politik dalam perumusan kebijakan dapat mengurangi resistensi dan memperkuat dukungan terhadap langkah-langkah efisiensi. Jika parlemen dan partai koalisi merasa dilibatkan dalam pengambilan keputusan, mereka cenderung memberikan dukungan yang lebih kuat.
Keempat, kebijakan efisiensi harus bersifat fleksibel dan dievaluasi secara berkala. Jika dampak negatif mulai terlihat, pemerintah harus siap melakukan penyesuaian agar tidak terjadi instabilitas politik yang lebih besar. Adaptasi terhadap kondisi yang berkembang akan memastikan bahwa efisiensi anggaran tetap memberi manfaat ekonomi tanpa menimbulkan dampak politik yang merugikan.
Terakhir, pemanfaatan teknologi juga menjadi elemen krusial dalam mendukung efektivitas kebijakan anggaran. Sistem pengelolaan keuangan berbasis teknologi memungkinkan transparansi yang lebih baik, sehingga masyarakat dapat mengawasi bagaimana anggaran digunakan. Dengan digitalisasi, setiap rupiah yang dihemat dapat dipastikan dialokasikan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat secara nyata. Langkah ini bukan hanya akan meningkatkan efisiensi anggaran, tetapi juga memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Pada akhirnya, efisiensi anggaran adalah kebijakan yang berpotensi memberikan manfaat besar bagi perekonomian nasional, tetapi juga memiliki risiko politik yang perlu diantisipasi. Keberhasilannya bergantung pada bagaimana pemerintah mengelola komunikasi, membangun konsensus politik, serta menjaga keseimbangan antara penghematan dan kesejahteraan masyarakat.
Jika strategi mitigasi dijalankan dengan baik, efisiensi anggaran dapat menjadi instrumen utama dalam mewujudkan pemerintahan yang lebih transparan, kuat, dan berkelanjutan. Namun, jika tidak dikelola dengan cermat, efisiensi yang dimaksudkan untuk memperkuat ekonomi justru bisa berujung pada defisiensi politik yang mengancam stabilitas pemerintahan
Editor: Safira Ramadani M