The feeling that I’m losing her forever
And without really entering her world
~ABBA
Bulan terbit bersama perasaan melankolis yang aneh ketika ada yang mencium keningku di tengah malam. Angin yang masuk lewat kisi-kisi jendela terasa anyep, suara jangkrik dan hewan malam lainnya seakan-akan tak pernah ada. Hanya ada suara tik-tok jam yang begitu nyaring menggema ke tiap sudut kamar. Ku cari-cari apa yang aneh dengan hari ini, apakah karena hari ini selasa kliwon, malam satu suro, atau ada seseorang yang diam-diam nyirep dengan merapal mantra dan menabur pasir, beras atau apalah ke empat arah mata angin. Ku minum segelas air putih di meja kecil samping ranjang sambil melihat kalender di dinding, hari ini malah malam minggu seharusnya ramai dong. Aku beranjak menuju jendela. Di luar, bulan bersinar begitu terang. Menciptakan warna biru gelap di langit dan siluet rimbun pohon bambu di samping rumah yang berlatar pegunungan. Ah, pemandangan dan suasana ini terasa khayal. Ada perasaan kehilangan serta kangen yang teramat sangat.
Ku setel radio walau tengah malam. Hanya itu satu-satunya teman bagi perempuan yang hidup sendirian menjalani hari demi hari dengan rasa kangen dan sepi sekaligus. Aneh tak ada stasiun radio yang sedang siaran, hanya terdengar suara statis yang berisik. Kuambil tape album milik ABBA dan menyetelnya. Tape itu hadiah dari pacar yang kelak jadi teman hidupku. Ia membelinya di Pasar Minggu tepat keesokan harinya setelah aku bilang bahwa aku suka mendengarkan musik.
Musik mengalun dengan lembut. Aku jadi teringat ketika putraku masih berusia satu tahun yang tak mau digendong siapapun kecuali ibunya sendiri. Dia akan menangis kencang memanggili namaku dan saat itu saudara, tetangga, atau bahkan ibu mertua ku hanya tersenyum dan menggelengkan kepala sembari mengembalikan dia ke pelukanku. Dia anak yang sangat ganteng. Kulitnya putih dan kenyal. Matanya bulat dan bening. Tiap kali menatapnya itu hanya akan membuat rasa sayangku bertambah.
School bag in hand, leaving home in early morning/waving goodbye with an absent minded smile. Aku rasa kelompok musik ini menciptakan lagu ini khusus untukku seorang. Betapa ia dengan senyum lebar menenteng tas yang kedodoran berjalan menuju kelas dengan melambaikan tangan kepadaku. Waktu itu hari pertama dia masuk TK dan aku dengan lebay merasa bakal kehilangan dia untuk selamanya. Aku terus gelisah di ruang tunggu memikirkan apakah dia tidak dijahili teman-temannya, apakah dia tidak dimarahi gurunya, apakah dia tidak ngompol, apakah dia tidak mengganggu teman-temannya. Sungguh perasaan sentimentil yang aneh mengingat selama 5 tahun 9 bulan kita tak pernah terpisahkan. ketika bel pulang sekolah berbunyi aku akan menjemputnya ke depan pintu kelas dan menangis haru melihat raut mukanya yang lucu tersenyum lebar berlari ke arahku. Dasar cengeng. Aku menangis.
Slipping into my finger all the time/ I try to capture every minute/ the feeling in it. Wisuda TK, SD, SMP, SMA aku selalu berfoto sambil menggandeng erat tangannya. Aku tak tahu kenapa setiap selesai menamatkan studi walau hanya jenjang TK diadakan wisuda. Ibu-ibu wali murid sering mengeluhkan betapa mereka harus mengeluarkan biaya ekstra untuk prosesi wisuda yang seharusnya tidak perlu, tapi tak apalah aku tidak peduli aku hanya ingin melihatnya tumbuh bahagia dengan aku selalu ada di sampingnya. Aku tak mau kehilangan momen. Itulah mengapa aku selalu menyempatkan berfoto dengannya. Ia tumbuh menjadi pemuda yang ganteng dan memiliki banyak teman. Tiap akhir pekan dia akan mengajak teman-temannya menginap di rumah, dan ketika ia beranjak dewasa ia mulai berbicara tentang teman perempuannya. Aih, aku tak menyangka putraku yang sering rewel dahulu sedang jatuh cinta. Aku bilang kepadanya untuk mengajaknya ke sini kapan-kapan. Aku merasa tersaingi ketika teman perempuannya datang yang ternyata sangat cantik seperti dalam dongeng-dongeng yang sering aku ceritakan sebelum tidur. Aku merasa kehilangan dia untuk yang kedua kalinya itulah yang menyebabkan air mataku muncul tiba-tiba saat menyalami mereka ketika hendak berpamitan malam mingguan. Maafkan aku ya, Nak. Kalian tak jadi pergi kencan malam itu.
Pada suatu malam entah kenapa tiba-tiba ada jarak yang terbentang luas saat putraku langsung masuk kamar tanpa mengucapkan salam dan mencium keningku seperti biasanya. Aku heran dan ketika ku tanyai dia hanya diam. Karena khawatir terus saja ku desak agar menjawab semua pertanyaanku. Tiba-tiba saja dia membentakku. Aku kaget. Kubentak dan kumarahi dia habis-habisan karena berani melawan orang yang mencintainya dengan tulus selama 20 tahun. Malam itu aku merasa kehilangan dia untuk yang ketiga kalinya. Aku tahu dia menangis di kamarnya. Begitupula aku.
Suara tarhim tetiba terdengar. Lagu yang sama terus berputar. Aku dan usiaku kembali ke masa kini. Dan hatiku tertambat pada then when she’s gone there’s that odd melancholy feeling/ and sense of guilt I can’t deny. Ah, air mata ini jangan mengalir lagi. Aku sudah berjanji pada tole untuk tidak menangis saat mengingatnya. Dia mengirimiku pesan singkat ketika ku tanyakan kapan dia pulang
Aku pasti pulang, entah tengah malam dini
Entah subuh hari
Pasti dan mungkin
Tapi jangan kau tunggu
Aku tahu itu kutipan puisi Wiji dan dengan cepat darahku berdesir mengingat situasi apa puisi itu ditulis. Dia begitu sulit di telepon. Jarang membalas pesan, membalaspun dengan nomor yang berganti-ganti. Aku tak mau dibunuh pikiranku sendiri. Toleku sayang pasti pulang. Tiba-tiba seperti ada yang mengusap punggungku tepat ketika azan subuh terdengar.. Aku menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa. Aku baru ingat hari ini adalah hari di mana toleku, anak lanangku satu-satunya, pamit melanjutkan studi di negeri orang 7 tahun yang lalu.



