"Berbagi Kata, Berbagi Berita"

Perpaduan Harmonis Manusia dan Budaya dalam Kerapan Kerbau di Kepulauan Kangean

Source: Seputar Jatim

LPM Fenomena – Kebudayaan adalah cara hidup yang berkembang dalam suatu masyarakat, diwariskan dari generasi ke generasi. Kebudayaan mencakup aspek-aspek kompleks seperti agama, politik, adat, bahasa, pakaian, hingga seni. Bahasa sendiri juga menjadi sarana penting dalam kebudayaan, karena melalui interaksi, pertukaran budaya dapat terjadi.

Sebagai warisan turun-temurun, kebudayaan lokal di Indonesia sering terancam oleh masuknya budaya asing yang tak tersaring, menyebabkan degradasi nilai asli budaya. Akulturasi yang tidak sejalan dengan nilai-nilai lokal ini menggerus kekayaan budaya. Untuk menjaga eksistensi budaya tradisional, masyarakat Kangean mengadakan kerapan kerbau1 sebagai simbol pelestarian budaya dengan pendekatan historis.

Kerapan kerbau adalah tradisi khas Kepulauan Kangean yang melibatkan pacuan kerbau. Dalam perlombaan ini, sepasang kerbau dipacu dengan diiringi oleh dua ekor kuda yang ditunggangi joki, yang menggunakan kayu rotan untuk mempercepat laju kerbau menuju garis finis. Tradisi ini umumnya diadakan di Desa Kolo-Kolo dan Desa Angkatan, di area yang cukup luas. Sebelum perlombaan dimulai, pengunjung diberi kesempatan untuk memukul kerbau, sebuah tindakan simbolis untuk mengusir bahaya atau roh halus yang dianggap mengancam.

Kerapan kerbau diyakini dapat mengusir bencana yang mengancam hasil panen dan hewan ternak warga. Warga Kangean percaya, saat musim panen padi tiba, gangguan terhadap tanaman dan ternak lebih sering terjadi, hingga menimbulkan penyakit misterius pada warga. Oleh karena itu, kerapan kerbau dilaksanakan sebagai upaya tolak bala di masa panen. Pada hari pelaksanaannya, masyarakat dari berbagai desa berkumpul untuk berpartisipasi dan menyaksikan acara ini, yang menjadi tradisi tahunan yang dinanti-nantikan oleh penduduk Kangean.

Meski kerapan kerbau menjadi atraksi meriah, kegiatan ini memiliki risiko tinggi. Lintasan balap yang hanya dibatasi bambu kerap kali tidak cukup aman, karena kerbau yang berlari kencang dapat menabrak pembatas atau pengunjung yang terlalu dekat. Kecelakaan bisa terjadi, terutama jika anak-anak berada di sekitar lintasan. Setelah mencapai garis finis, pemilik kerbau biasanya melakukan tarian syukur yang diiringi musik tradisional Kangean, Kendheng Dhumik2. Acara ini bukan sekadar perlombaan, tetapi juga simbol kegembiraan warga dalam menjalankan tradisi tolak bala.

Selain sebagai tradisi syukur, kerapan kerbau juga bertujuan untuk menjaga keselamatan masyarakat. Pada babak final, kerbau yang menang dibawa pulang dengan iringan Kendheng Dhumik, sebagai penghormatan bagi kemenangan ritual tolak bala. Meski membutuhkan biaya besar, pemilik kerbau yang menang biasanya memperoleh keuntungan lebih, karena harga jual kerbau pemenang cenderung meningkat. Tradisi kerapan kerbau khas ini hanya ada di Kepulauan Kangean, Sumenep, dan belum tentu ditemukan di daerah Madura lainnya.

Untuk menyaksikan kerapan kerbau, pengunjung harus menempuh perjalanan laut 4–12 jam dari Pelabuhan Kalianget menuju Pelabuhan Batu Guluk, dilanjutkan perjalanan darat sekitar satu jam menuju lokasi. Medan menuju lokasi cukup menantang, terutama saat hujan karena jalan belum beraspal. Motor trail disarankan untuk keamanan dan kenyamanan pengunjung.

Kerapan kerbau adalah tradisi unik yang terus dipertahankan di Desa Kolo-Kolo dan Desa Angkatan di Kepulauan Kangean. Acara ini bukan hanya menjadi ritual tolak bala, tetapi juga momen perayaan bagi warga setelah panen. Melalui tradisi ini, masyarakat Kangean berharap terhindar dari musibah yang mengancam kehidupan, tanaman, dan hewan ternak mereka.

  1. Karapan kerbau adalah tradisi turun-temurun yang diadakan di Pulau Kangean, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur ↩︎
  2. Gendeng dumik adalah gendang kecil atau gendang tradisional yang sering digunakan dalam kesenian tradisional untuk mengiringi upacara pangkak ↩︎

penulis

Dzakki Faiq Arrizal

Editor:

Muhammad Dzunnurain

Berita Terkait

“Kalau Udah Nyebur, Sekalian Basah Aja” Mahasiswa PBI Unisma Raih Gelar Runner UP 1 Duta Kampus Unisma

Lebaran Tanpa Tren Velocity, Bisa Gak Sih?

Dulu Bisa Hampir Setiap Hari Main Judol, Sekarang Tobat

Pecel: Lebih dari Sekadar Hidangan, Sebuah Warisan Budaya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Produk Fenomena

Majalah LPM Fenomena Edisi 30

Lensa

Terbaru

Adakan Pelatihan untuk Anggota Baru, LPM Fenomena Siap Upgrade Misi

Calon Wisudawan FKIP Unisma Berjalan Gagah Dengan Senyum Sumringah Saat Pengukuhan Lulusan Periode Ke-76

Jadi Dosen Tamu di Universiti Putra Malaysia, Dr. Ari Ambarawati Perkenalkan Fiksi Anak Bertema Lingkungan

Populer

Adakan Pelatihan untuk Anggota Baru, LPM Fenomena Siap Upgrade Misi

Calon Wisudawan FKIP Unisma Berjalan Gagah Dengan Senyum Sumringah Saat Pengukuhan Lulusan Periode Ke-76

Jadi Dosen Tamu di Universiti Putra Malaysia, Dr. Ari Ambarawati Perkenalkan Fiksi Anak Bertema Lingkungan

Terbaru

Adakan Pelatihan untuk Anggota Baru, LPM Fenomena Siap Upgrade Misi

Calon Wisudawan FKIP Unisma Berjalan Gagah Dengan Senyum Sumringah Saat Pengukuhan Lulusan Periode Ke-76

Jadi Dosen Tamu di Universiti Putra Malaysia, Dr. Ari Ambarawati Perkenalkan Fiksi Anak Bertema Lingkungan

Keadilan yang Membara: Dialog antara Komunis, Islam, dan Literasi yang Terpinggirkan

Populer

Adakan Pelatihan untuk Anggota Baru, LPM Fenomena Siap Upgrade Misi

Calon Wisudawan FKIP Unisma Berjalan Gagah Dengan Senyum Sumringah Saat Pengukuhan Lulusan Periode Ke-76

Jadi Dosen Tamu di Universiti Putra Malaysia, Dr. Ari Ambarawati Perkenalkan Fiksi Anak Bertema Lingkungan

Keadilan yang Membara: Dialog antara Komunis, Islam, dan Literasi yang Terpinggirkan

Produk Fenomena

Majalah LPM Fenomena Edisi 30

Lensa