"Berbagi Kata, Berbagi Berita"

Dendam

Oleh: Muhammad Lutfi
Digdaya Mediatama

Aisyeh pergi ke rumah neneknya yang tidak jauh dari rumahnya. Sudah dia mintai ijin pada ibunya. Ibu juga berpesan supaya disampaikan pada nenek agar nanti malam datay ke rumah mereka. Keluarga mau mengadakan acara syukuran karena Aisyeh sudah diterima di salah satu perguruan tinggi dengan jalur beasiswa.

Aisyeh rasanya senang bukan main. Dia menyampaikan pesan dari ibunya itu pada neneknya. Riang juga nampak pada wajah neneknya. Dia bersyukur salah satu cucunya bisa berkuliah, apalagi dapat beasiswa. Akhirnya dia punya cucu yang nantinya akan jadi sarjana.

Aisyeh juga turut mengundang saudara lainnya. Malam nanti di rumah Aisyeh akan ada syukuran kecil-kecilan. Pak Haji Tamrin yang jadi pengisi pengajiannya.

Pak Haji Tamrin pun terkenal sebagai seorang sarjana agama. Selain sebagai pengisi pengajian, Dia juga kerap diundang oleh beberapa orang untuk jadi penasihat-penasihat rapat di kelurahan.

Malam tiba, tampak lampu rumah Aisyeh terang benderang. Orang-orang berdatangan, Saudara-saudara Aisyeh pun sudah berkumpul. Beberapa orang ada yang membawa hadiah dan jajanan buat Aisyeh.

Aisyeh duduk di depan rumah menyambut para tamu yang datang, Sementara ibunya menyiapkan beberapa jajanan untuk tamu. Ayahnya nampak sedang ngobrol bersama Pak Haji Tamrin. Nenek Aisyeh yang ditunggu-tunggu pun datang juga.

Pak Haji Tamrin segera membuka pidatonya. Seluruh hadirin mendengarkan dengan baik. Seusai pengajian, Pak Haji Tamrin berpesan pada semua hadirin agar mendoakan kesuksesan buat Aisyeh.
Bahkan khusus dari Pak Haji Tamrin, dia berkata pada Aisyeh supaya belajar yang tekun,
dengan rajin membaca, nanti akhirnya jadi pinter, supaya cita-cita tidak sia-sia. Pak Haji Tamrin juga percaya kalau Aisyeh itu anak pinter.

Selesai acara, semua orang berkumpul dan saling mengobrol. Mereka berbicara panjang lebar dan saling bertukar cerita. Tidak ketinggalan juga dengan Aisyeh, dia putuskan bergabung dalam obrolan Kolaine.
Kolaine gadis keturunan Belanda, rambutnya ikal seperti payung. Kalau disibak baunya wangi sekali. Kolaine biasa dipanggil Ine.
Ine dan Aisyeh sebenarnya bukan saudara, tapi saudara Aisyeh punya teman namanya Kolaine. Jadi, Ine adalah teman tidak langsung dari Aisyeh.
Kolaine yang sejak kecil tinggal di Belanda, tak heran jika ia pandai berbicara dalam bahasa Belanda. Orang menyebut Kolaine dengan sebutan preng, atau pelesetan dari kata pirang karena rambutnya yang pirang. Nilai plusnya lagi, Kolaine juga pandai berbahasa jawa. Sehingga Kolaine sering disebut juga bule jawa.

Sebanyak-banyaknya orang menyebut Kolaine dengan sebutan apapun itu. Kolaine tetaplah Kolaine bagi Aisyeh. Itu panggilan dari Aisyeh buat Kolaine.

“Beruntung, kamu bisa kuliah. Emang kamu kalau lulus mau jadi apa?” ucap Kolaine ketus menusuk hati Aisyeh. Tentu itu ucapan kasar sekali, tetapi Aisyeh berusaha sabar. Dia tahu watak orang itu beda-beda, tidak bisa disamaratakan.

“Tidak apa, kita kan hanya melakukan kewajiban mencari ilmu,” jawab Aisyeh menyampaikan maksud. Kolaine ketus sekali, Dia buang muka seakan tak mau bicara lagi.
Beberapa saat kemudian ia kembali berucap, “Sombong.”
Aisyeh tidak menanggapinya. Dia menganggap Kolaine emang seperti itu. Kolaine adalah orang yang suka mengolok-olok Aisyeh. sebenarnya dia hanya iri kepada Aisyeh.
Aisyeh berusaha menganggap itu hanya angin lewat, ia biarkan begitu saja, biarlah panas hati sendiri.
Kolaine berkata lagi dengan gaya ketusnya, “Uang orang tua elu, bukan elu, songong, sombong amat!” Kolaine berkata dengan melemparkan kulit kacang ke tong sampah.
Orang-orang memperhatikan Kolaine dan Aisyeh, tetapi Aisyeh mencoba untuk mengalah dan bersabar.Ia paham kalau semua itu hanya ujian baginya. Aisyeh mengucap istighfar sebanyak-banyaknya.

Tak lama, Kolaine buka bicara lagi, “Kenapa sih kamu tidak mati saja?” Ucap Kolaine.
Kolaine memang sangat ketus dan kejam, bicaranya kasar sekali. Tampak sekali ia menunjukkan sikap tidak Sukanya kepada Aisyeh.

Memang begitulah Kolaine, si gadis jawa berbangsa Belanda itu.
tetapi perlu digarisbawahi, tidak semua orang jawa berbangsa Belanda seperti itu. Teman Aisyeh yang juga berdarah Jawa-Belanda bicaranya santun dan baik hati.
Begitulah sifat dan karakter dari masing-masing orang, tidak bisa dilihat dari bangsanya semata.

Kejadian ini bermula setengah tahun lalu. Kolaine adalah kawan dari saudara Aisyeh. Mereka bertemu layaknya orang kenal, suka main ke rumah, kadang pergi jalan bersama. Itu yang menimbulkan kenyamanan di antara mereka.

Kemudian entah karena apa, Kolaine mulai berkata kasar, “Kamu itu anak siapa sih? Orang kok kelakuannya mirip anjing.” Aisyeh tidak terima dengan umpatan kasar itu. Orang itu telah mencemooh dirinya.
Tanpa alasan Aisyeh pulang ke rumah. Setiap bertemu dengan orang itu, dia enggan menyapanya, seolah-olah tidak mengenal. Hanya muka orang itu yang membuat ua memalingkan wajahnya, serta dirinya merasa ada kedamaian melakukan hal itu.

Aisyeh menjalani hidupnya seperti biasa, merasa tidak pernah melakukan hal dengan beberapa orang sebelumnya. “Huuuu,” teriak orang di luar seperti babi. Kurang ajar beneran memang. Aisyeh mencoba bertahan.
Dia hanya bisa bersabar, bersabar, dan terus menahan amarah. Entah sampai kapan?. Sebenarnya dadanya diliputi api amarah yang besar dan membara. Dia sadar juga kalau badannya mudah sakit, mudah terbawa perasaan.

Esok harinya, saat masih tercium segar udara pagi yang masih dililit kabut, orang-orang masih belum keluar sepenuhnya dari rumah. Jalanan masih nampak sepi. Aisyeh sedang jalan-jalan keluar, itu sering ia lakukan di waktu pagi.

Sambil menikmati pagi ia berjalan dan melenggang menyusuri jalanan hitam yang sisinya ditumbuhi pohon kersen, sampai kemudian dia bertemu Kolaine yang tengah duduk di depan rumahya.

Kolaine menyapa ramah Aisyeh, senyumnya mengambang lebar, seolah dia tidak ada masalah apapun dengan Aisyeh. Aisyeh membalas senyum Kolaine dengan senyuman pula.
Kolaine meminta Aisyeh untuk mampir dan duduk bersamanya di teras rumahnya. Kemudian dia menawarkan minum kepada Aisyeh yang tampak lelah dan berkeringat di mukanya.
Tentu Aisyeh tidak menolak. Dia memutuskan menerima tawaran itu.
Kolaine pamit ke dapur untuk membuat kopi. Dia tuangkan air hangat ke dalam kopi panas itu, kemudian keluar kembali membawakan kopi untuk orang yang sudah menunggunya di luar.
“Ini kopinya, minum saja, biar tidak dehidrasi!” Kolaine melempar senyum dan meletakkan gelas di depannya.

Aisyeh yang memang sudah lelah dan kering tenggorokannya, tidak sabar untuk meminum kopi itu.
“Tapi kenapa kamu buatkan aku kopi, seharusnya air putih saja,” seru Aisyeh. Kopi bisa bikin perut kembung dan mules, apalagi Aisyeh baru saja selesai olahraga pagi. Dia khawatir penyakitnya kambuh.
Wanita itu punya penyakit maag yang kadang masih kambuh. Kalau sedang kambuh, rasanya panas dan perutnya serasa seperti disobek-sobek, ususnya dibakar dan ditusuk-tusuki ribuan pedang.
Tetapi karena dia tidak ingin mengecewakan orang yang sudah menawari dia minuman itu, akhirnya dia meminum juga.

Bibirnya menabrak kopi yang masih panas membuat tangannya spontan melepas genggamannya. Ia tak sengaja menumpahkan kopi pemberian Kolaine itu. Masih panas sekali diseduh oleh bibir.
“Kok panas sih?” tanya Aisyeh. Justru setelah dia berbicara macam itu, Kolaine melotot dan marah-marah. Dia merasa sangat marah sehingga menendang kursi dan berdiri. Sambil berkacak pinggang, ia mengumpat,
“Kamu tidak tahu terimakasih, sudah dikasih minum malah menghina.”
Dia dengan raut wajah emosi sambil terus melotot tajam dan lurus ke arah wajah Aisyeh. “Sekarang kamu pergi dari sini, dasar!”
Sebenarnya, memang Kolaine sengaja melakukan itu. Dia ingin membuat Aisyeh kepanasan minum kopi. Dia ingin menghardik dan mencemooh Aisyeh di mukanya langsung. Dia melihat ini adalah kesempatan yang bagus untuk melakukan hal itu.

Aisyeh merasa dipermalukan oleh Kolaine. Kolaine membentaknya dan menyuruh Aisyeh sekali lagi untuk segera pergi dari rumahnya itu. Tangannya kini menunjuk ke luar rumah, isyarat agar aisyeh segera pergi. Kolaine tidak main-main.
Aisyeh segera pergi meninggalkan rumah. Dia merasa sedih karena dibentak tanpa kesalahan yang jelas.

Aisyeh membatin, ini semua tak lain hanyalah siasat dari Kolaine. Kolaine memang sungguh kejam dan dengan itu dia berhasil melakukan perbuatannya pada Aisyeh.

Aisyeh lagi-lagi berusaha bersabar, ia elus dadanya agar lebih tenang. Dia pun melanjutkan kegiatan paginya, berlari-lari kecil di sepanjang jalan. Tetapi, beberapa saat kemudian ia merasakan ada yang panas di perutnya. Dia merasa mules dan harus segera pergi ke toilet. tanpa pikir panjang, ia berlari sekencang-kencangnya menuju rumah.

Desember 2022

Editor: Safira Ramadani Mahfud

Muhammad Lutfi

Muhammad Lutfi, kelahiran Pati, 15 Oktober 1997. Alumnus UNS dan UNNES. Buku: Elegi, Lorong, Asuh, Berlayar, Pelaut, Bunga Dalam Air, Sastra Mistik, Pengkajian Puisi, Sastra Profetik, Kritik Sastra dan Aplikasinya pada Puisi Chairil Anwar.

Tulisan Lain di &

En Garde: Energi Booster dengan Lirik Penyemangat Anti-Give Up!

Keadilan Dibalik Ketidakadilan Dalam Film The Judge From Hell

Di Suatu Kedepan Tanpa Gagang Senjata di Tempurung Kepala

Setan Bulan Puasa

Sajak Untuk Yunita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terbaru

Mahasiswa FKIP Unisma Berikan Kontribusi Nyata Lewat PBLI-KSM di MAN Kota Batu

Dari Kampus ke Codrodipo: Mahasiswa Unisma Menyusuri Langit Al-Khawarizmi

FKIP Unisma Siap Lepas Mahasiswa Praktik Mengajar ke Sekolah

FKIP Unisma Resmi Buka Pembekalan PBLI-KSM 2025, Siapkan 163 Mahasiswa Terjun ke Sekolah

Populer

Mahasiswa FKIP Unisma Berikan Kontribusi Nyata Lewat PBLI-KSM di MAN Kota Batu

Dari Kampus ke Codrodipo: Mahasiswa Unisma Menyusuri Langit Al-Khawarizmi

FKIP Unisma Siap Lepas Mahasiswa Praktik Mengajar ke Sekolah

FKIP Unisma Resmi Buka Pembekalan PBLI-KSM 2025, Siapkan 163 Mahasiswa Terjun ke Sekolah