"Berbagi Kata, Berbagi Berita"

Self-Love: Menjaga Kewarasan Mental di Tengah Ekspektasi Akademis yang Tinggi

Oleh: Safira Ramadani Mahfud
Ilustrasi : School of Perenting

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus yang penuh tuntutan, self-love atau mencintai diri sendiri adalah aspek yang sering kali diabaikan oleh mahasiswa. Paradigma sukses yang didominasi oleh pencapaian akademik dan prestasi organisasi telah menciptakan tekanan yang tidak ringan bagi generasi muda akademisi.

Penelitian yang dilakukan oleh WHO dalam WHO World Mental Health International College Student Project yang meneliti sembilan belas universitas di delapan negara menemukan bahwa 35 persen mahasiswa seumur hidupnya mengalami setidaknya satu gangguan mental DSM-IV, yaitu anxiety disorder, mood disorder, atau substance disorder, dan 31,4 persen mengalaminya dalam rentang 12 bulan terakhir. Penelitian juga dilakukan oleh Vidiawati (2017) mengenai masalah kesehatan jiwa mahasiswa baru di sebuah universitas di Jakarta. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa 12,69 persen mahasiswa mengalami masalah kejiwaan.

Hustle Culture Demi Ideal Kesuksesan yang Menyiksa

Fenomena hustle culture atau gaya hidup yang menuntut seseorang bekerja keras melebihi batas kemampuannya demi mewujudkan keinginannya, yang saat ini marak di kalangan mahasiswa, semakin memperparah situasi ini. Terlalu banyak mengambil proyek sampingan, mengikuti banyak organisasi hingga mengorbankan waktu istirahat, kemudian terjebak dalam siklus kerja tanpa henti demi mencapai ideal kesuksesan yang kerap ditampilkan di media sosial.

Secara fundamental, hustle culture ini sangat bertentangan dengan prinsip self-love atau mencintai diri sendiri. Ketika seseorang terus-menerus memaksakan diri, secara tidak langsung mereka sedang mengirimkan pesan kepada diri sendiri bahwa nilai mereka sebagai manusia hanya sebatas produktivitas dan pencapaian eksternal.

Untuk mengatasi hal ini, kita memerlukan narasi yang mengarahkan pada keseimbangan antara ambisi dan kesejahteraan diri sendiri. Pandangan tentang ideal kesuksesan perlu dibenahi, karena sejatinya sukses mencakup kesehatan mental dan fisik, kepuasan batin, serta hubungan yang bermakna, bukan hanya pencapaian materi dan status sosial.

Realitas Brutal Kehidupan Kampus

Realitas brutal kehidupan kampus adalah kenyataan yang amat butuh perhatian, tetapi sering kali tersembunyi oleh gambaran ideal tentang masa-masa kuliah yang penuh kebebasan dan penemuan jati diri. Di balik kemegahan gedung-gedung kampus dan janji-janji manis akan masa depan yang cemerlang, terdapat tekanan akademik yang mencekik, kompetisi yang tidak sehat, dan ekspektasi yang tidak realistis.

Mahasiswa dihadapkan pada tuntutan nilai bagus, aktif berorganisasi, memiliki banyak keterampilan, membangun portofolio, sambil tetap menjaga kesehatan mental dan fisik. Keadaan ini diperparah oleh biaya pendidikan yang semakin tinggi, di mana mahasiswa dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah terpaksa harus membagi waktunya untuk bekerja.

Dalam situasi ini, hustle culture menemukan tanahnya yang subur. Saat mahasiswa melihat temannya mampu mengelola seluruh tuntutan dengan baik sambil tetap sukses—baik dalam segi materi maupun status sosial—mereka merasa tertinggal jika tidak melakukan hal yang sama atau bahkan lebih. Media sosial juga makin memperburuk situasi ini dengan versi yang diedit dari kehidupan orang lain: prestasi, kegiatan organisasi, hingga magang di perusahaan ternama. Tontonan-tontonan itu kemudian dikemas dalam narasi, “Kalau mereka bisa, kenapa aku tidak?” tanpa memperhatikan keseimbangan kepuasan hati dan batas kemampuan diri.

Yang lebih memprihatinkan, jika institusi pendidikan tinggi sendiri ikut memperkuat pola pikir ini. Dosen dan administrator kampus memberikan pujian berlebih kepada mahasiswa yang “serba bisa” tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang dari gaya hidup overachiever. Dalam realitas brutal ini, konsep self-love menjadi semakin sulit diterapkan. Mahasiswa yang mencoba menetapkan batasan, menolak komitmen berlebih, atau memprioritaskan kesehatan mental mereka sering dikucilkan atau dianggap “kurang berambisi.” Maka, dalam situasi semacam ini, praktik self-love bukan hanya tentang mandi busa dan meditasi sejenak, tetapi merupakan perlawanan aktif terhadap sistem yang telah dinormalisasi untuk mengeksploitasi kapasitas mahasiswa hingga titik hancur.

Self-love bukan berarti egois atau mengabaikan tanggung jawab. Justru sebaliknya, mencintai diri sendiri adalah tanggung jawab paling utama sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan. Lebih dalam, self-love berarti melibatkan penerimaan diri, menghargai keterbatasan, serta memberikan waktu bagi diri sendiri untuk istirahat dan pemulihan.

Di era di mana prestasi akademik sering kali menjadi tolok ukur utama kesuksesan, penting bagi mahasiswa untuk memahami bahwa self-love bukanlah kemewahan, melainkan kebutuhan fundamental. “You cannot pour from an empty cup. Self-love is not selfish; it’s necessary.”

Safira Ramadani Mahfud

Mahasiswa PBSI UNISMA

Tulisan Lain di

Keadilan yang Membara: Dialog antara Komunis, Islam, dan Literasi yang Terpinggirkan

Gen Z Tak Mau Lepas, atau Memang Tak Bisa Lepas dari Layar?

Reformasi Digital yang Terjebak di FYP

Hari Kebebasan Pers Sedunia 2025: Saat Suara Kritis Dibungkam, Demokrasi Terancam

Lebaran Tanpa Tren Velocity, Bisa Gak Sih?

Efisiensi Anggaran dan Risiko Ketidakstabilan Politik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terbaru

Adakan Pelatihan untuk Anggota Baru, LPM Fenomena Siap Upgrade Misi

Calon Wisudawan FKIP Unisma Berjalan Gagah Dengan Senyum Sumringah Saat Pengukuhan Lulusan Periode Ke-76

Jadi Dosen Tamu di Universiti Putra Malaysia, Dr. Ari Ambarawati Perkenalkan Fiksi Anak Bertema Lingkungan

Keadilan yang Membara: Dialog antara Komunis, Islam, dan Literasi yang Terpinggirkan

Populer

Adakan Pelatihan untuk Anggota Baru, LPM Fenomena Siap Upgrade Misi

Calon Wisudawan FKIP Unisma Berjalan Gagah Dengan Senyum Sumringah Saat Pengukuhan Lulusan Periode Ke-76

Jadi Dosen Tamu di Universiti Putra Malaysia, Dr. Ari Ambarawati Perkenalkan Fiksi Anak Bertema Lingkungan

Keadilan yang Membara: Dialog antara Komunis, Islam, dan Literasi yang Terpinggirkan