“Andai saja air selokan itu berubah menjadi es kopyor, pasti akan segar sekali.”
Misto hanya bisa menggumam tanpa arah, menatap kosong pada air selokan yang mengalir jernih di depan teras rumahnya.
Sejak terbangun dari tidurnya beberapa menit yang lalu, Misto hanya duduk termenung sambil sesekali menelan ludahnya dengan tatapan kosong pada air selokan itu. Percikan sinar matahari menari-nari di permukaan aliran air selokan seakan memanggil Misto untuk meminumnya.
Tenggorokannya seakan tercekik di siang itu. Puasa tahun ini begitu banyak godaan yang menghampirinya. Misto yang tidak sahur karena bangun kesiangan merasa dirinya sudah tidak sanggup lagi untuk melanjutkan puasa.
Karena imannya yang tipis, muncullah inisiatif kotor untuk membatalkan puasa bersama temannya yaitu, Surip. Tanpa pikir panjang, Misto segera bergegas menuju rumah Surip dengan mengendarai sepeda engkol yang tidak lebih cepat dari kucing berlari. Tak lupa, di tengah perjalanan Misto merancang kata-kata mutiara agar Surip mau membatalkan puasanya juga.
Tak butuh waktu lama, Misto sampai di depan rumah Surip, terlihat Surip sedang khusyuk mengaji di musollah samping rumahnya. Misto langsung memanggil Surip dengan nada tinggi.
“Rip…Surip…Rip…”
Surip yang mendengar suara Misto segera keluar dan menghampirinya dengan mengenakan kopyah dan memegang Al-quran.
“Ada apa, To? Ganggu orang lagi ngaji aja,” jawab Surip dengan gaya sok alim.
“Wedeh… mimpi apa kamu semalam, kok tumben ngaji kayak gini?”
“Loh… kata pak ustad itu, di bulan ramadan ini kita harus lebih meningkatkan ibadah kepada allah, karena pahalanya akan berlipat ganda, To… Bukan malah kayak kamu ini, keluyuran siang hari gak jelas kayak gini,” jawab Surip sok menceramahi.
“Alah Rip…Rip, gayamu kayak gak pernah mokel (membatalkan puasa) saja, malah sok-sokan nyeramahi.”
“Hehehe biar kelihatan alim, To…” Surip menimpali sambil nyengir kuda.
“Udah gak usah banyak bicara, mau ikut gak?”
“Ikut kemana, To?” Surip pura-pura tidak mengerti.
“Biasa… inpo segar segar, Rip…!” Misto sambil mengedipkan mata.
“Waduh bahaya ini, setan bulan puasa contohnya kayak kamu ini, To.”
“Tapi… sebenarnya aku gak sahur tadi pagi.” Surip sambil memegang perutnya yang bergemuruh kelaparan.
“Nah… kebetulan aku juga sama gak sahur, Rip. setahuku, kalau tidak sahur, tidak apa-apa membatalkan puasa.” Misto bermuslihat.
“Mungkin benar juga kata kamu, To.” Surip percaya begitu saja.
“Iya benar, Rip. Kalau begitu, ayo ikut aku saja ke warung si Mbok, kita beli es kopyor di sana!”
Sunyi sesaat, hanya suara gemuruh perut Surip seakan ingin mengiyakan ajakan dari Misto. Surip termenung menatap muka Misto yang penuh harap padanya.
“Sudah gak usah banyak pikir, Rip. Ayo ikut saja, nanti aku traktir!” Misto terus menghasut Surip.
Karena iman Surip juga setipis iman Misto, Surip akhirnya mengiyakan ajakan Misto tersebut.
“Okelah kalau begitu. Kalau masalah di traktir kayak gini aku gak bisa nolak, To.” Surip sudah termakan umpan traktiran dari Misto.
“Nah… gitu dong, ya sudah ayo berangkat.” Misto tersenyum gembira karena sudah berhasil menghasut surip untuk ikut mokel bersamanya.
Satu teman sudah terjerumus. Terhasut oleh kebohongan yang mutlak. Kenyataannya, tak ada puasa yang bisa gugur karena hanya tidak melaksanakan sahur. Mereka berdua tak menghiraukan hal itu.
Singkat cerita, mereka berdua sudah tiba dan langsung memesan es kopyor. Tak lama, Mbok penjual datang dengan membawa es kopyor pesanan mereka berdua. Sambil meletakkan es kopyor di hadapan mereka, Misto menanyakan sesuatu pada si Mbok.
“Di sini buka tiap hari meskipun puasa ya, Mbok?” Tanya Misto dengan suara lirih.
“Iya, Mas. Di sini buka tiap hari, masnya kalau gak puasa mending ke sini saja, dijamin aman kok.” Sahut Mbok penjual sambil berbisik pada mereka berdua.
“Wah bisa jadi lokasi langganan nih, Rip.” Misto sambil melirik pada Surip.
“Iya nih, To.”
Si Mbok juga memberitahu bahwa ada pelanggan setia yang hampir setiap hari membeli ke warung ini.
“Biasanya kalo jam segini ada bapak-bapak yang hampir tiap hari beli es kopyor juga loh, Mas.”
“Waduh…parah bapak itu ya, Mbok. Sudah tua masih saja gak puasa, naudzubillah..” Misto bergaya seperti orang tidak berdosa.
“Alah…kamu ini, To. Sama-sama gak puasa malah ngomongin orang lain yang gak puasa.” Surip langsung menyahuti.
Si Mbok tersenyum mendengar obrolan mereka berdua, lalu meninggalkan mereka untuk kembali melayani pembeli yang lain.
Misto dan Surip sangat menikmati es kopyor tersebut, namun tak lama kemudian di tengah asiknya menikmati segarnya es kopyor, datanglah bapak Misto, Pak Asnawi yang ternyata berniat mokel juga. Usut demi usut, ternyata bapak Misto inilah pelanggan setia yang diceritakan si Mbok tadi.
Pak Asnawi pun terkejut ketika masuk ke dalam warung melihat anaknya sedang menikmati es kopyor. Pak Asnawi langsung menghampiri mereka berdua. Misto dan Surip yang masih belum menyadari bahwa ada bapak Misto di situ masih meminum es kopyornya dengan santai. Tanpa ampun, Pak Asnawi memarahi mereka berdua dari belakang.
“Di cariin dari tadi rupa-rupanya gak puasa di sini kamu, To. Orang lain sholat dzuhur di masjid kamu malah enak-enakan gak puasa di sini, bikin malu saya saja.” Pak Asnawi dengan nada marah.
Misto dan Surip terkejut karena tiba-tiba ada bapak Misto yang langsung marah-marah, lalu dengan wajah santai Misto balik bertanya pada bapaknya.
“Lah, bapak ngapain juga ke sini siang bolong?”
Sontak bapaknya pun terdiam plonga-plongo sibuk mencari jawaban.
“Ee…ya nyariin kamu ke sini.” jawab bapak Misto dengan muka bingung.
Mendengar suara gaduh, si Mbok keluar dari dapurnya.
“Aduh…ada apa kok ribut di sini, kalau mau ribut di luar saja, jangan di sini.” Teriak si Mbok sambil berjalan mengahampiri mereka bertiga.
Si Mbok yang sudah hafal betul wajah bapaknya Misto langsung saja menyapanya dan menawarkan untuk membeli esnya.
“Loh…sampean Pak, mau beli es lagi?” tanya si Mbok dengan santainya.
Pak Asnawi hanya terdiam dengan muka bingung dan tidak menjawab pertanyaan si Mbok penjual.
“Loh, ibu kenal bapak saya?” sahut Misto keheranan.
“Ya tentu, kenal, Mas. Bapak ini yang jadi pelanggan setia kalau pas bulan puasa. Hampir tiap hari mokel di sini.” Jawab Mbok penjual dengan santai.
Mendengar jawaban si Mbok tadi, suasana pun berubah, yang awalnya Pak Asnawi marah-marah berubah menjadi panik.
“Oh…berarti yang diceritakan Mbok soal bapak-bapak tadi itu ya…bapaknya Misto ini?” sahut Surip dengan wajah polos.
“Iya betul sekali, Mas. Jadi bapak ini pelanggan setia yang ibu maksud tadi.” Jawab si Mbok mempertegas ceritanya.
Surip kembali nyeletuk dengan wajah polosnya.
“Waduh…ini benar kata pepatah, buah yang jatuh tidak akan jauh dari pohonnya, bapak dan anak sama saja tingkah lakunya.” Surip sambil nyengir di samping Misto.
“Eh…diam kamun Rip, ini urusan keluargaku. Kalau begitu saya akan bilang pada ibu kalau Bapak juga sering mokel.” Ucap Misto sambil melototi bapaknya.
Pak Asnawi yang sudah panik karena mendapat ancaman balik anaknya mencoba membujuknya dengan rokok agar tidak memberitahu ibunya tentang masalah ini.
“Waduh, jangan gitu lah le… ini bisa kita bicarakan baik-baik. Atau begini saja, bapak akan kasih kamu rokok surya satu bungkus! Gimana?”
Mendengar tawaran dari bapak si Misto tadi, surip langsung berbisik pada Misto.
“Wahh enak juga kalo gitu, To. kita bisa rokoan tiap hari gak usah beli.”
Tanpa pikir panjang. Misto langsung menyetujui tawaran bapaknya tersebut.
“Oke Pak, tiap hari ya!” sahut Misto.
“Iya le…asalkan jangan kasih tahu ibumu masalah ini!”
“wokeh, Pak.” Sahut Misto dengan muka senang.
Surip yang awalnya tidak percaya dengan adanya mitos setan bulan puasa (setan berupa manusia), sejak kejadian itu, Ia percaya dan selalu terbesit dalam pikirannya “inilah setan bulan puasa yang sesungguhnya.”
TAMAT